Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Semar-Semar yang Kita Butuhkan

Kompas.com - 16/04/2018, 18:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari sanalah, kita layak mawas diri. Segera kita mengingat orang-orang Jawa sering mengaitkankannya dengan sosok Semar dalam diri manusia. Di masa-masa krisis, tatkala zaman demikian melaju tanpa arah, ilmu pengetahuan, dan kekuasaan menjadi segala.

Bahkan keyakinan-keyakinan suci, yang berlandas reliji disalahpahami dan menjadi amunisi untuk membakar amarah diri.

Sosok Semar kemudian menjadi rujukan penting bagi siapa saja. Tak hanya orang Jawa. Bagaimana seseorang terus-menerus mencari kesejatian, eling dalam kosmologi besar maupun kecil-nya.

Ia mampu menahan ego, melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, sebelum melakukan sesuatu yang menyakiti liyan, sesama manusia, alam dan seisinya.

Sohieb Toyaroja Sohieb Toyaroja, Highway To Heaven Sangkan Paraning Dumadi, 2mx180cm, oil on canvas, 2018 (2)
Semar adalah tauladan dan idealisasi manusia yang memiliki nilai-nilai iIlahiah, yang dalam pandangan yang sama disebut Gusti yang Katon. Tuhan yang terlihat atau manusia adikodrati.

Dalam beberapa peradaban dunia konsep seperti ini disebut Ubermensch (Jerman), dan kita mengenalnya di keyakinan Islam dengan konsep Insan Kamil.


Vox populi vox dei

Semar sejatinya abdi sekaligus raja. Ia metafora kesalehan, amat dekat dengan kekuasaan namun tidak berkuasa. Ia beralih rupa menjadi dzat yang melampaui segala, yang melihat hidup adalah sebentuk permainan belaka.

Dari beragamnya polah dan tingkah manusia di jagat fana. Semar melampaui identitas-identitas dari asumsi pikiran-pikiran manusia: keyakinan reliji, etnisitas, ideologi, atribut-atribut dan jabatan-jabatan serta semua kemajemukan yang bersandar atas nama-nama itu.

Segala yang melekat dalam diri kembali ke asal. Kekosongan berhulu pada keketiadaan yang berarti kekekalan. Hidup sejatinya bermuatan mati, Sangkan Paraning Dumadi.

Semar ingin menyampaikan ujaran yang cukup mengena bahwa ia adalah manusia sekaligus sosok berenergi transenden, tak pernah terpikat sesuatu yang dianggap paling besar maupun hal yang paling sepele dalam perspektif hidup manusia.

Ia senyatanya diatas warna-warna terang, gelap, abu-abu dan lain-lain. Semata Semar hidup sejengkal di dunia, kemudian sirna menjemput kesejatian dalam perjalanan pendek menuju ke kematian.

Dengan semar, yang kita kaitkan pada konsep universal tentang vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, maka Semar seperti dalam ilustrasi lukisan Sohieb di esai ini, bahwa menerjemahkan kekuasaan yang diwujudkan oleh sebuah kursi ada di ujung jari telunjuk Sang Semar.

Yang posisi Semar nampak sangat rileks, digambarkan sedang merebahkan diri di sebuah balai-balai. Seakan ia abai pada sekelilingnya dengan tangan kiri menyedot sebotol susu. Semar juga perwujudan anak-anak, apa adanya, jujur sekaligus naif.

Dengan karakter itu, Semar sungguh tak berambisi melengserkan kekuasaan atau sebaliknya menjadi king maker. Ia hanya bertutur jelas bahwa baginya kekuasaan adalah remeh temeh.

Ekspresi mukanya tersenyum menikmati, ia ingin berpesan bahwa mereka yang berambisi menjadi pemimpin hendaklah mendengar dan memahami hidup wong cilik. Bukan janji-janji dalam kampanye politik kemudian dikhianati. 

Rakyat yang bermanifestasi menjadi Semar akan dengan mudah melengserkan kekuasaan seseorang jika ia mau. Tuhan dan rakyat menyebadan dalam sosok Semar dalam versi ilustrasi lukisan tersebut.

Dan kita bersama menjadi saksi, mungkin para pemimpin itu, mereka yang menguasai kekuasaan politik, serta sesiapa saja yang berkecukupan memiliki aset dalam ilmu pengetahuan serta mengontrol teknologi informasi, sejenak mengaca fenomena Semar dalam dirinya. Akankah Bumi yang kita pijak ini dan Indonesia tentunya, segera akan berakhir?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com