Perjalanan hidup Ine Febriyanti seperti sebuah pencarian diri yang tak pernah henti. Langkahnya dimulai ketika dia menjadi Gadis Sampul sebuah majalah remaja, 20 tahun lalu. Kemudian dia melangkah menjadi pemain sinetron dan membintangi beberapa layar lebar.
Dia merasa menjadi model atau pemain sinetron tidak cukup untuk mengaktualiasi dirinya. ”Tidak memuaskan batin saya,” ujarnya. Dunia teater pun dia terjuni dan berlatih serius untuk bisa tampil di atas panggung. Kemampuan peran di pangung itu pula yang membuat Japan Foundation mengajak Ine dan pemain teater lain bermain dalam pementasan kolaborasi teater di Jepang. Dia pun mendapat beasiswa mengikuti pelatihan penulisan skenario dan penyutradaraan selama tiga minggu di Busan, Korea Selatan.
Dia kini menjadi sutradara film dengan tema-tema antara lain soal korupsi yang telah menggerogoti semua sendi kehidupan negeri ini. Dia antara lain menyutradarai Selamat Siang Risa dalam film omnibus Kita VS Korupsi.
Awal karier Anda berawal dari ajang Gadis Sampul. Kini, Anda berkecimpung di dunia akting. Mengapa memilih dunia akting daripada dunia model? (Samuel, Jakarta)
Saya menginginkan sesuatu yang lebih dari itu. Mulailah saya masuk ke dunia seni peran sebagai aktris layar kaca di televisi pada tahun 1996. Namun keterlibatan saya di beberapa sinetron televisi ternyata kembali membuat saya gelisah. Saya merasa, sinetron dan gemerlap layar kaca pun menuntut eksploitasi fisik dan akting yang hanya di permukaan saja.
Pada akhirnya, saya merasa perlu mencari dan belajar lebih dalam. Kemudian saya melibatkan diri di dunia teater, yang ternyata cukup memuaskan dahaga saya. Proses kreatif yang intensif, dan interpretasi terhadap naskah yang mendalam ketika berproses dalam teater memberikan pengalaman penting bagi saya dikemudian hari.
Ketika saya mengikuti karya dan keterlibatan seni Mbak Ine, saya selalu terhenyak. Tema-tema yang diambil itu unik bahkan bisa dibilang kontroversial. Menimbulkan tanda tanya dan memikat. Apakah hal tersebut muncul karena kepedulian pada kehidupan yang miring, timpang, atau sekadar strategi ekonomi agar karyamu dilihat dan menghasilkan sebuah penghargaan dan pengakuan status pribadi? (Florent Hartanta, Klepu, Yogyakarta)
Dulu, saya pernah beranggapan, seni adalah output dari kegelisahan dan keseimbangan bagi diri. Saya tidak perlu menjadi normal dan saya punya ruang untuk membebaskan diri di luar keseharian saya ketika memasuki ranah seni.
Saya selalu tertantang dengan karakter karakter yang tidak biasa, kompleks dan rumit. Dengan demikian, saya bisa menyelami dan belajar hal di luar diri saya. Soal apakah itu strategi agar mendapatkan pengakuan status, rasanya tidak. Seingat saya, saya selalu melibatkan diri dalam berkesenian sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan batin. Barangkali kini pandangan saya sudah sedikit lebih dewasa. Tidak harus kontroversial dalam berkesenian.
Pertama kali diminta menjadi salah satu sutradara dalam omnibus film Kita VS Korupsi, terus terang saya sedikit khawatir. Saya pribadi sebenarnya sudah muak dengan kondisi korup yang merajalela di negeri ini. Saya tidak punya passion sedikit pun untuk mengangkat tema korupsi. Bahkan saya cenderung apatis.
Bagi saya, membuat sebuah film dibutuhkan kedekatan emosional antara sutradara dengan isu yang diangkat dalam filmnya. Beruntung para sutradara diberikan ruang sebebasnya untuk menentukan angle cerita. Film Kita VS Korupsi tidak mengangkat drama korup yang sudah sering kita lihat dalam berita sehari-hari. Namun film ini berupaya untuk menginspirasi penonton agar tidak memilih jalan korupsi sebagai mata pencarian.
Di film Selamat Siang, Risa!, saya justru menggunakan energi keartisan saya terhadap korupsi itu sendiri. Dan, saya merasa bersyukur mendapat kesempatan berbuat sesuatu bagi negeri ini melalui jalur yang saya cintai.
Motivasi dasar saya adalah menghasilkan apa pun yang saya buat semaksimal dan sebaik yang saya bisa. Barangkali totalitas itu tidak bisa saya dapatkan ketika menjadi pemain sinetron atau pun model. Namun bukan berarti saya beranggapan seorang model dan pemain sinetron tidak bisa berbuat maksimal dalam pekerjaannya. Saya hanya membutuhkan ruang yang lebih pas bagi saya.
Peralihan dari pemain film dan kini menjadi sutradara pastinya tidak mudah dan penuh tantangan, apa yang memicu semangat Mbak Ine untuk terus maju sebagai sutradara menggarap film Selamat Siang Risa, padahal film yang bertemakan korupsi sudah ada sebelumnya? (Yohanes Antonius Lelaona, Malang, Jawa Timur)
Selama karier berkesenian saya, dari cover girl sebuah majalah remaja lalu beralih menjadi aktris di film dan panggung, saya kemudian menemukan gairah terbesar, yakni menyutradarai film.