Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Leher Angsa": Hajat dan Bisul di Tanah Air Beta

Kompas.com - 23/06/2013, 14:54 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Ada konsistensi sikap yang kemudian menjadi karakter film-film produksi Alenia Pictures. Mereka berbicara kepada anak-anak dan orang dewasa tentang Indonesia. Dalam Leher Angsa, mereka hadirkan Tanah Air dan problematika di balik keindahan dan kekayaan alamnya.

Dalam Leher Angsa, yang disutradarai Ari Sihasale, Alenia mengajak penonton mengenal negeri sendiri: tanah Lombok yang elok. Gambar-gambar panorama alam yang megah disodorkan menyegarkan mata. Gunung Rinjani dan dusun-dusun dengan rumah tradisi. Gambar-gambar itu mengajak anak-anak bertamasya ke sisi-sisi indah Ibu Pertiwi yang cukup jarang terjamah mata kamera di kebanyakan film kita.

Di balik keindahan itu ada kesahajaan hidup rakyat dan kemiskinan. Dalam keindahan dan kemiskinan itu ada wajah anak-anak yang tetap gembira. Tidak cengeng dan menangis-nangis. Ada optimisme.

Tema sederhana
Tema Leher Angsa cukup sederhana, yaitu tentang penggunaan toilet leher angsa untuk mengganti kebiasaan buang hajat di sungai. Tema ini dikembangkan dengan semacam anak cerita. Tokoh utamanya adalah empat sekawan anak-anak sekolah dasar, yaitu Aswin, Sapar, Najib, dan Johan. Plus orangtua mereka dengan aneka perilaku, termasuk Pak Tampan yang diperankan oleh Lukman Sardi dan istri barunya yang diperankan oleh Alexandra Gottardo.

Dalam tema sederhana itu disertakan sejumlah sketsa tentang kebiasaan orangtua yang menurun ke anak. Misalnya tabiat buang hajat di sungai, penyakit bisul yang baru akan tuntas ketika sang bisul pecah, tentang kucing dan ikan asin, tentang Aswin, bocah yang gemar membaca. Bahkan, tentang pertanyaan "eksistensial" terkait hidup dan mati.

Cerita-cerita kecil itu diurai dan dikaitkan dengan tema keseluruhan. Beberapa cerita disampaikan dalam gaya komedi dan karikatural. Misalnya perjalanan kotoran dari sungai ke laut. Kotoran itu bertemu ikan. Sang ikan terkena pancing dan berlanjut sampai ke pasar, lalu digoreng, dan berakhir di meja makan. Ini termasuk gagasan liar yang cukup menggelitik sebagai tontonan (meski bagi penonton tertentu mungkin bisa menimbulkan impresi yang relatif kurang nyaman).

Kisah Aswin yang gemar membaca juga disampaikan dengan gaya humor. Begitu gemarnya membaca, Aswin membaca seluruh buku di perpustakaan sekolah. Ia membaca satu buku yang sama sebanyak tiga kali. Begitu hausnya ia membaca sampai papan berisi 10 Program PKK di kelurahan pun ia hafal. Bahkan, tulisan di nisan di kuburan pun ia baca hingga ia hafal benar nama dan tanggal kematian si penghuni kubur, yaitu Kortubi. Itu belum cukup. Koran yang hanyut di sungai pun ia ikuti sambil dibaca isinya.

Film ini masih sempat menyisipkan "kejahilan" dengan mengaitkan tanggal kematian Kortubi dengan hari lengser seorang presiden yang dibaca Aswin di koran yang hanyut itu. Dengan gaya kepolosan seorang anak, film ini melontarkan sindiran sosial. "Presiden kok mengundurkan diri, kan enak jadi presiden," kata Aswin.

Sindiran sosial khas Alenia semacam itu tampaknya memang konsumsi orang dewasa yang mungkin menemani anak-anak menonton. Atau tentang Pak Tampan yang bermusuhan dengan Pak Kades gara-gara kalah dalam pemilihan kepala desa. Sebuah sindiran politis yang menggelitik. Tokoh Pak Kades diperankan oleh Ringgo Agus Rahman dengan gaya karikatural.

Kisah Aswin yang gemar membaca ini sebenarnya lepas dari tema. Namun, toh bisa dicari kaitannya dengan kegemaran Aswin menulis cerita, termasuk cerita tentang bisul.

Panjang
Ada juga yang sebenarnya lepas dari tema utama dan menjadi sekadar selingan yang dimaksud untuk menghibur. Seperti cerita kucing dan ikan asin. Pada adegan ini Alenia berani menyuguhkan grafis komputer yang cukup mulus menggambarkan gerak sang kucing yang terkesan kartunik dan berhasil secara gambar. Hanya saja, kisah sang kucing ini terkesan belum tuntas dan belum bicara apa-apa terkait dengan keberadaan ikan asin.

Cara penyampaian printhilan anak-anak cerita itu kemudian menimbulkan kesan film berdurasi 115 menit ini cukup panjang bagi sementara penonton. Kesan panjang itu muncul antara lain karena faktor kebelumbicaraan seperti kasus kucing itu tadi. Kucingnya menarik, tetapi belum memberi kontribusi makna pada keseluruhan film.

Namun, secara tontonan utuh Leher Angsa bisa menjadi hiburan bagi keluarga di hari libur. Sebuah tamasya mengenal bagian Tanah Air dengan aneka tabiat rakyatnya. (XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com