"The Act of Killing" adalah karya sutradara Joshua Oppenheimer. Film ini mengangkat kisah pilu mengenai pembunuhan massal dan impunitas di Indonesia oleh seorang pemimpin pasukan kematian bernama Anwar Congo yang dikenal keji mencekik ratusan orang hanya dengan menggunakan kawat.
Namun, sebelumnya Oppenheimer telah melakukan perdebatan panjang untuk ke tingkatan yang baru dengan mendorong para pelaku pelanggar hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mereka di film dan khalayak global.
"Saya pikir itu kewajiban kita sebagai pembuat film, sebagai orang-orang menyelidiki dunia, untuk menciptakan realitas yang paling mendalam terhadap isu-isu," Oppenheimer seperti yang dikutip New York Times.
"Ini adalah manusia, seperti kita, membual tentang kekejaman yang harus terbayangkan. Dan pertanyaannya adalah, 'Mengapa mereka melakukan ini? Untuk siapa yang mereka lakukan ini? Apa artinya bagi mereka? Bagaimana mereka ingin dilihat? Bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri?' Dan metode ini (film) adalah cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan," lanjutnya.
"The Act of Killing" yang dikenal negara Barat sebagai pembantaian massal satu juta orang di Indonesia di era kekuasaan militer pada 1960-an, di mana para korbannya diberi label komunis, namun juga menyasar para pemimpin buruh, etnis China dan intelektual. Kelompok-kelompok paramiliter yang melakukan pembunuhan atas perintah dari Tentara Nasional Indonesia dan dengan dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya hanya dengan alasan khawatir bahwa Indonesia akan seperti Vietnam dan jatuh ke tangan komunis.
Di Indonesia, peristiwa sudah menjadi rahasia umum. "Semacam rahasia umum, terus diam-diam tersembunyi sehingga jika Anda ingin, Anda bisa berpura-pura itu tidak terjadi," kata John Roosa, seorang sarjana sejarah Indonesia di University of British Columbia, sekaligus penulis buku "Pretext for Mass Murder", buku terkemuka tentang pembantaian 1965.
"Jadi film ini telah menjadi meprovokasi, mendorong, warga Indonesia untuk bertanya, 'Beritahu kami apa yang terjadi?'" lanjutnya.
Ketika itu pembunuhan terorganisir terjadi di seluruh Indonesia yang merupakan negara terpadat keempat di dunia, tapi Oppenheimer berfokus pada Medan, Sumatera Utara. Dalam film itu dikisahkan pula tentang kelompok yang disebut "gengster film", penggemar John Wayne dan Marlon Brando, yang melakukan pembunuhan karena terinspirasi dari film-film yang mereka sukai. "Rasanya seperti kita membunuh dengan senang hati," kata Oppenheimer.