Sayang, lagu itu tidak dibawakan Dream Theater dalam konser di Jakarta, 26 Oktober lalu. Penonton yang datang untuk menikmati lagu tersebut agak kecewa meski terbayar oleh lagu-lagu lain yang tak kalah dahsyatnya.
Bagi para pencinta kelompok musik Dream Theater, lirik lagu "Take Away My Pain" bermakna dalam. Lagu ini bisa menjangkau suasana hati yang beragam. Bagaimana tidak. Penciptanya pun, gitaris John Petrucci, menganggap lagu tersebut sebagai lagu yang paling pribadi dan sarat kenangan. Kita kutip sebagian:
She was standing by the edge of his bed/Staring at the message on their faces/He said, ”What else can you do, babe?”/I guess, I won’t be coming home again/Just took away all my promises/Make them take away my pain/
Lirik ini menggambarkan detik-detik terakhir kehidupan ayahnya serta kesedihan yang memayungi keluarganya. Saat itu, ayah dan ibu Petrucci saling pandang, seolah tahu bahwa perpisahan tidak lama lagi akan terjadi.
"Bayangkan Anda menulis lagu tentang perasaan dan diri sendiri, kemudian membaginya dengan banyak orang. Itu luar biasa," kata Petrucci.
Sebagian besar lagu Dream Theater ditulis oleh Petrucci. Tema-temanya sering begitu filosofis dan reflektif, entah itu tentang kehidupan, kesedihan, ataupun kematian.
"Musik menjadi terapi yang efektif bagi seseorang untuk keluar dari permasalahan hidup. Bisa juga sebagai penyalur rasa bahagia," kata dia.
Dream Theater memang tidak bisa dipisahkan dari kepiawaian permainan gitar John Petrucci yang sangat khas dengan teknik alternate picking, yakni memainkan dawai atas-bawah secara berulang-ulang dan cepat.
Kerinduan terhadap permainan Petrucci, drumer Mike Mangini, bassist John Myung, keyboardist Jordan Rudess, dengan vokal James Labrie terpuaskan pada pertunjukan malam itu.
Tiga jam
"Selamat malam Jakarta. Kami akan bermain tiga jam. Let's make it fantastic tonight!” teriak vokalis Dream Theater, James Labrie setelah melantunkan lagu "The Shattered Fortress", di Lapangan D Senayan, Jakarta. Suara gemuruh sekitar 5.000 penonton menyambut sapaan James yang gondrong dengan kumis dan jenggot dibiarkan memanjang.
Penampilan Dream Theater itu merupakan bagian dari tur dunia, dan Jakarta merupakan panggung ke-85. Promotor Variant Entertainment menyediakan panggung dengan sistem tata suara berkekuatan 200 megawatt dan pencahayaan 500 megawatt. Cukup megah.
Lagu-lagu yang dibawakan Dream Theater kurang memancing penonton untuk berjingkrak-jingkrak. Meski demikian, permainan solo Mike Mangini, John Myung, dan Petrucci benar-benar memukau penonton. Keterampilan individu tiap awak band itu mendapat applause panjang. Penonton mengacungkan salam tiga jari pada beberapa lagu rancak, seperti "The Enemy Inside" dan "The Looking Glass" dari album Dream Theater (2013).
Ardito Abdillah (21), warga Bekasi, yang malam itu menonton konser, mengatakan, lagu-lagu Dream Theater memang lebih untuk dinikmati. Dia membeli tiket Rp 1.250.000 dengan harapan dapat menikmati beberapa lagu yang menurut dia pas dimainkan dalam konser, seperti "In The Presence of The Enemy", "The Dying Soul", dan "In The Name of God". Sayangnya, nomor-nomor itu absen dari 19 nomor yang dibawakan Dream Theater malam itu.
Konser ditutup dengan "Finally Free", tanpa kehadiran lagu-lagu "wajib", seperti "The Spirit Carries On" ataupun "Pull Me Under".
Dua generasi
Lagu-lagu itu pula yang melambungkan nama Dream Theater sebagai band rock progresif asal Amerika. Namun, band ini mulai jarang memainkan lagu-lagu itu sejak drumer Mike Portnoy hengkang pada 2010 dan diganti Mike Mangini. Portnoy merupakan salah satu pendiri dan turut menancapkan citra Dream Theater.
Penonton generasi awal Dream Theater ketika masih diperkuat Portnoy boleh saja kecewa karena banyak lagu kesukaan mereka tidak dimainkan. Akan tetapi, penggemar berusia dua puluhan tahun tetap puas dengan penampilan Dream Theater malam itu.
"Banyak lagu yang saya hafal dan suka. Jadi saya senang malam ini jauh-jauh ke Jakarta nonton konser," kata Aryoseto (23), yang terbang dari Bali demi Dream Theater. Dia mengenal Dream Theater sekitar lima tahun lalu.
Sebelum konser, John Petrucci mengatakan, dia terkesan dengan penonton di Indonesia dalam konser dua tahun lalu. Namun, ia mengakui setiap negara mempunyai karakteristik dan budaya yang berpengaruh terhadap respons mereka terhadap musik Dream Theater.
Dream Theater lahir tahun 1984, melahirkan 12 album studio dan delapan album live. Rentang umur penggemar rupanya berpengaruh pada atmosfer konser. Bisa jadi, tidak semua penggemar terpuaskan pada malam itu. Tapi Dream Theater terus melahirkan penggemar baru. (Mohammad Hilmi Faiq)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.