Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vokalis Napalm Death Berharap Jokowi Beri Grasi untuk Terpidana Mati

Kompas.com - 23/01/2015, 14:59 WIB
Irfan Maullana

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Vokalis band grindcore dari Inggris, Napalm Death, Mark "Barney" Greenway, meluncurkan surat terbuka untuk memohon kepada Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo atau Jokowi agar memberi grasi kepada Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua warga negara Australia terpidana mati terkait kasus penyelundupan heroin dari Bali ke Australia pada 2005.

Dalam surat terbuka tersebut, yang diunggah ke akun Facebook resmi Napalm Death, Kamis (22/1/2015) pukul 02.33 dini hari WIB, Barney menekankan bahwa Chan dan Sukumaran akan dieksekusi mati di Indonesia, setelah divonis bersalah mengedarkan heroin. Segala upaya hukum sudah dilakukan oleh Chan dan Sukumaran, tetapi hasilnya nihil.

Menurut Barney, satu-satunya jalan untuk membebaskan Chan dan Sukumaran adalah mendapat grasi atau pengurangan hukuman dari Presiden RI, dalam hal ini Jokowi.

"All that can save them is clemency from Indonesia’s President, Joko Widodo. We ask you to help in respectfully seeking clemency," tulis Barney.

Selama ini Jokowi juga dikenal sebagai penggemar musik rock dan metal, termasuk Napalm Death. Karena itu pula, Barney berharap Jokowi bisa mencerna lirik lagu-lagu Napalm Death, yang mengandung pesan anti-kekerasan di dunia, termasuk dalam bentuk hukuman mati.

Barney menyadari bahwa heroin bisa merusak dalam berbagai hal. Namun, ia juga percaya bahwa hukuman mati terhadap terpidana kasus narkotika bukanlah solusi. Dalam surat terbuka tersebut, Barney menyatakan yakin bahwa Jokowi bisa mengubah situasi menjadi lebih baik dengan memberikan grasi terhadap Chan dan Sukumaran.

Inilah surat terbuka Barney untuk Jokowi:

"Dear Mr Widodo, I am appealing directly to you to please spare the lives of Andrew Chan and Myuran Sukumaran, the two Australian citizens who are currently awaiting the death sentence in Indonesia for heroin smuggling."

"As a follower of our band Napalm Death, you would appreciate that our lyrics and ethos challenge the unbroken cycle of violence in the world, whether it comes from a state or as an individual. If these things are not challenged and ultimately changed, I believe we will never truly move forward as humankind."

"I understand that you are standing as a leader determined to change things for the better, and so I believe granting clemency would be a major step forward in this pursuit of betterment. I appreciate that heroin can be damaging on many levels, but I believe that this is a much deeper issue that cannot be changed or altered by simply taking away the lives of people."

"Again, I respectfully ask that you make a real difference and overturn these sentences." "In hope and peace. Mark 'Barney' Greenway (Napalm Death)."

Seperti diberitakan, Chan dan Sukumaran merupakan bagian dari sebuah kelompok yang terdiri dari sembilan warga Australia yang tertangkap akibat menyelundupkan heroin seberat 8,3 kilogram senilai 4 juta dollar AS dari Indonesia menuju Australia pada 2005. Mereka dijuluki "Bali Nine". Chan dan Sukumaran divonis mati pada 2006.

Atas sikap Pemerintah RI yang akan menjalankan hukuman mati terhadap terpidana mati kasus narkotika itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Tedjo Edhy Purdijatno mengaku tak khawatir jika Pemerintah Australia kelak menarik duta besar mereka dari Indonesia. Namun, Tedjo mengingatkan agar Pemerintah Australia mengutamakan prinsip saling menghormati terkait aturan hukum yang berlaku di suatu negara.

"Apabila ingin menjalin hubungan baik antara Australia dan Indonesia, pihak Australia harus hargai hukuman yang berlaku di Indonesia," ucap Tedjo.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan bahwa mungkin saja Pemerintah Australia akan menarik Duta Besar Australia dari Jakarta apabila kedua terpidana mati tersebut jadi dihukum mati. Menurut Julie, hukuman mati bukanlah solusi untuk memutus mata rantai jaringan narkotika.

Pihak Kejaksaan RI sudah mengeksekusi enam orang terpidana mati kasus narkotika pada Minggu (18/1/2015) dini hari. Keenam terpidana itu berasal dari Belanda, Malawi, Vietnam, dan Indonesia. Mereka dijatuhi hukuman mati setelah Presiden Joko Widodo menolak permohonan grasi mereka. Jokowi menyatakan tak akan mengabulkan grasi terhadap semua terpidana kasus narkotika.

Atas hukuman mati tersebut, Pemerintah Brasil dan Pemerintah Belanda melancarkan protes. Mereka memanggil duta besar masing-masing untuk kembali ke negara masing-masing. Presiden Joko Widodo sudah berbicara dengan pihak kedua negara itu dan memberikan pemahaman bahwa Indonesia kini tengah berstatus darurat narkotika.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau