"Bertengkar karena kadang dia itu kan kalau ingin sesuatu susah diterjemahkan. Dan saat itu saya enggak bisa lakukan maunya dia. Saya tinggalkan kamera, dia marah sama saya," ucapnya sambil tersenyum dalam malam puncak FFI 2015 yang diselenggarakan di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Tangerang, Banten, Senin (23/11/2015) malam.
Di sisi lain, pria asal Ambon itu bersyukur karya-karyanya baik itu sebagai aktor, sinematografer, editor maupun juru kamera mendapat apresiasi.
"Ini perjalanan panjang saya. Mungkin itu yang dihargai," tuturnya.
George sebelumnya telah memperoleh tiga piala Citra untuk Penyunting Gambar Terbaik dan tiga untuk Pengarah Sinematografi Terbaik.
"Terakhir saya ikut FFI itu 2006, habis itu tidak lagi. Kenapa? karena lebih ke pribadi. Kan ada kasus pas 2006 itu, awal mulanya itu," ucap George.
Merujuk pada Wikipedia, George pernah menjadi seorang aktor, ketika aktingnya dikatakan tidak memuaskan oleh Slamet Rahardjo, maka George pun kemudian beralih profesi menjadi seorang editor yang kemudian menjadi seorang juru kamera, terakhir menjadi sinematografer. Profesinya sebagai aktor disebut sebagai bentukan dari sineas ternama Teguh Karya.
Sebetulnya George tidak memiliki latar belakang pendidikan sebagai juru kamera. Sewaktu muda George pernah kuliah di jurusan konstruksi dan administrasi, tapi tidak sampai selesai. Pada tahun 1976 ia baru menekuni pengambilan dan penyuntingan gambar.
Selama lima tahun, dia menjadi asisten sinematografer dan editor Tantra Suryadi. Ia bertugas memanggul kamera atau mengumpulkan gulungan film yang sudah tidak terpakai lagi.
Sebagai seorang juru kamera, George memiliki prinsip keras, tidak mau terlibat dalam produksi bila skenarionya jelek dan bintang filmnya tidak disiplin.
Aktor dan aktris film juga mesti tunduk dan tetap duduk di lokasi syuting sewaktu George sedang mengatur pencahayaan.
George dipercaya menjadi editor dalam film Usia 18 pada 1980. Baru pertama kalinya ia menyunting, George langsung menyabet penghargaan Piala Citra.
Adapun film yang dia gawangi pengambilan gambarnya adalah Seputih Hatinya, Semerah Bibirnya (1982), yang dibintangi oleh Christine Hakim. Pada 1986, karyawan film dan televisi melarang untuk menekuni dua profesi sekaligus, maka George pun memilih juru kamera sebagai profesinya.
Film yang membuat namanya makin melambung pada era 1980-an adalah film kolosal kepahlawanan Tjoet Nja' Dhien (1988), ketika ia sudah menjadi seorang juru kamera.
Pada film Doea Tanda Mata (1985) George mendapatkan penghargaan Golden Crown Award di Seoul Korea Selatan. Kemudian ia berhasil menggondol Piala Citra untuk yang ketiga kalinya setelah film Doea Tanda Mata (1985) dan Ibunda (1986).
George masih aktif di Teater Populer yang didirikan oleh Teguh Karya, Slamet Rahardjo Djarot, Henky Solaiman dan lain-lainnya. Di sana ia memiliki jabatan sebagai pengurus harian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.