Ia merantau dari kampung halamannya di Lampung untuk bekerja di bidang yang menurut ia dan orangtuanya layak.
Ia mengaku berbohong kepada orangtuanya. Ia bilang, ia telah menjadi pegawai sebuah stasiun televisi.
Ia merasa malu dengan identitasnya sebagai "penonton alay" dan menutupi hal itu dari keluarganya.
"Aku bilangnya kemarin itu, 'Ya, Ma, aku diterima di suatu TV.' Mereka tahunya aku masuk ke televisi-televisi itu bukan penonton," ceritanya ketika berbincang dengan Kompas.com di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (3/3/2016).
"Katanya ke Jakarta kerja, masa cuma jadi alay," begitu alasan An, yang takut berterus terang kepada orangtuanya.
An mengaku mulai menjadi "penonton alay" pada Januari 2016. Ia mengaku pula mendapatkan pekerjaan tersebut melalui iklan di koran.
Setelah menghubungi pihak pemasang iklan, ia langsung diterima sebagai "penonton alay" yang dikelola oleh sebuah agensi.
Uang sebesar Rp 80.000 per hari dikantongi oleh dara yang tinggal di kawasan Jembatan Besi, Jakarta Barat, itu.
Annisa pun mengaku selalu menyisihkan sebagian uang hasil kerjanya itu untuk orangtuanya agar mereka tidak curiga.
"Gimana lagi, bohong lagi. Aku takutnya Mama kecewa," ucapnya.
Meski begitu, An tak berdiam diri dengan kondisi itu.
Ia berkisah pernah melamar kerja di sebuah perusahaan. Namun, setelah menjalani seleksi hingga tahap wawancara, ia tak bisa lanjut lagi.
"Kemarin sudah interview, tapi posisinya, KTP-ku enggak ada, aku kehilangan KTP," tuturnya.
Sampai sekarang An masih tetap ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai penonton bayaran.
Ia ingin bekerja dengan kemampuan yang dimilikinya, entah pekerjaan apa.
"Jangan diterusin (jadi 'penonton alay'). Aku pengin kerja yang nyaman dan enggak ngebohongin orangtua lagi, bisa kasih uang ke orangtua," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.