SETIAP dua tahun, selama lebih dari seratus tahun, Venesia (yang dijuluki La Serenissima) di Italia, telah menjadi tuan rumah pameran seni terbesar di dunia, Venice Biennale, di Venesia, Italia.
Ini seperti sebuah smorgasbord, hamparan "prasmanan" yang sangat besar dengan karya-karya dari seluruh dunia yang terbagi dalam dua komponen utama.
Pertama, terdapat pameran resmi yang dipilih dan diedit oleh kurator berbeda di setiap kunjungan. Ditampilkan di Arsenale (dulunya adalah pusat pembuatan kapal dan persenjataan di Venesia), pameran tersebut diadakan di atas lahan ratusan hektar dengan latar belakang beton mentah, besi, dan batubata.
Perlu diingat bahwa La Serenissima telah menjadi sebuah kekuatan industri sejak tahun 1100-an dan sebuah kota megah dengan dekorasi istana baroque dan gereja-gereja yang dibangun di atas perekonomian kota yang dinamis.
Kedua, terdapat paviliun nasional, sebuah pameran seni dalam jumlah yang besar yang berada di area Giardini, taman publik yang dibangun Napoleon atau tepatnya di samping Arsenale.
Paviliun ini (itu bukan galeri) sebagian besar didatangi oleh orang-orang Eropa dengan sedikit orang dari negara-negara Amerika Latin, serta terdapat juga orang Jepang, Korea, dan Australia.
Penggunaan kata "paviliun" sangatlah penting karena mengartikan sebuah ruang tiga dimensi yang diisi atau dikurasi.
Pagelaran Venice Biennale bukan tentang meletakkan beberapa lukisan di dinding. Paviliun nasional itu harus spektakuler, immersive , benar-benar merupakan pengalaman yang "Sensurround".
Dalam hal ini, paviliun Jerman merupakan yang paling menonjol dengan menghadirkan sebuah gambaran dystopia yang kelam dalam kehidupan modern.
Seniman Anne Imholtz memasang dinding dan lantai kaca temporer di dalam paviliun: menciptakan sebuah suasana yang tidak biasa dan juga membingungkan dimana terdapat pembatas antara penonton dan para pemain yang beraksi memakai baju olahraga.
Seiring waktu, saya mulai bertanya-tanya apakah saya hanya sekadar penonton yang pasif atau seorang peeping tom (pengintip diam-diam yang mengganggu)?
Bagaimanapun, lumayan jauh dari Giardini, paviliun nasional tersebar di sepanjang kota yang beberapa di antaranya sangatlah emosional. Misalnya, baik orang Irak maupun orang Iran, mereka memiliki paviliun yang seperti "memprovokasi" dengan menekankan tradisi pra-Islam negara mereka masing-masing.
Digantungkan di atas langit-langit, seperti membangkitkan kota perdagangan yang telah berakar dan juga budaya warisan Melayu-Riau beserta masyarakatnya.
Dibuat oleh Zai Kuning, seorang seniman yang eksentrik namun brilian. Hasil karya tersebut merupakan bagian dari pengembangan eksplorasi pribadinya atas ciri khas Melayu yang menggali kembali akar-akar Sriwijaya pra-Islam dengan tema pelengkap adanya “Orang Laut” (sekelompok perantau maritim) dari kepulauan Riau dan juga tradisi mak yong (seni teater tradisiononal masyarakat Melayu).