Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Asia Tenggara di Gelaran Venice Biennale Ke-57

Kompas.com - 14/06/2017, 14:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Sebagai perbandingan, persembahan hasil karya seni Indonesia dan Filipina terkesan terlalu rumit dan dibuat-buat. Mengacu kepada tokoh nasional dan polimatik, Jose Rizal, serta tokoh sejarah Asia Tenggara Ben Anderson yang hanya menekankan keterbatasan atas hasil karya yang ditampilkan.

Mengingat fakta bahwa kota Manila saat ini menjadi pusat seni kreatif yang paling menarik di kawasan ini, presentasi karyanya justru melelahkan, seperti beberapa lukisan dari Manuel Ocampo (karya lukisannya di tahun 90’an jauh lebih baik daripada hasil karyanya sekarang) dan beberapa light-boxes karya Tracey Emin.

Sebuah acara tambahan di kota (Zobel Contrapuntos) yang memamerkan karya almarhum Fernando Zobel, seorang seniman dari Filipina jauh lebih memuaskan.

Dengan indahnya kurasi, pameran tersebut menangkap esensi dari sosok "binasional" ini dengan akar Spanyol/Filipina-nya saat mengekplorasi kemampuan “elaborasi” estetikanya.

Hasil karya Indonesia oleh Tintin Wulia sangat terlihat ambisius dan "menipu" seperti memproyeksikan perisitwa berdarah pada 1965 ke masa depan yang imajinatif. Namun, eksekusinya biasa saja.

Paviliun Thailand, karya seorang seniman terhormat bernama Somboon Hormthiethong, memamerkan perayaan Bangkok yang kacau dan tanpa arti dengan sederet keramik seladon dan bangku plastik yang dijajar. Meski dapat dinikmati, namun tidak memiliki arti yang dalam.

Sebagai perbandingan, Zai Kuning dari Singapura dapat menguasai paviliunnya, menguasai ruangannya. Dia membuat sebuah bentuk seni, kapal apungnya yang menimbulkan suasana gelap, membangkitkan kesan petualang dan daya tarik Nusantara. Seniman Filipina dan Indonesia kurang memiliki kecerdikan alami seperti Zai Kuning.

Philippine Department of Foreign Affairs Paviliun Filipina menampilkan “The Spectre of Comparison” kurasi oleh Joselina Cruz bersama seniman Lani Maestro dan Manuel Ocampo.
Menelurusi paviliun nasional di Giardini dan di tempat lainnya, membuat saya menyadari bahwa tahun ini, Biennale pertama setelah Brexit dan terpilihnya Donald Trump, negara-negara tersebut membuat sebuah comeback yang dramatis.

Pengamat-pengamat liberal seperti saya sendiri telah diasupi oleh mimpi dunia yang tanpa batas. Kaum elit telah mendapat manfaat dari globalisasi dan keuntungan yang telah memberikan manfaat terhadap kekayaan, membiarkan para pria dan wanita biasa tidak memiliki apa-apa.

Dan lebih dari delapan belas bulan terakhir ini dengan para demagog seperti Trump dan Boris Johnson yang memimpin, kita telah menemukan kembali daya tarik kuat atas wilayah kita yang lebih kecil, kebangsaan, dan keragamam suku.

Lalu apa hubungannya dengan seni? Ya, hasil karya seni harus ditanamkan dalam pengalaman manusia dan pengalaman itu harus memiliki tempat yang nyata.

Karya seni dari seniman seperti Damien Hirst, juga dipamerkan di Venesia, tergolong hasil karya yang tidak bermakna, tidak memiliki jiwa. Walaupun dia kaya dari hasil seninya, namun Hirst merupakan seniman yang mencolok, tidak sopan, dan tidak jelas arahnya.

Thai Pavilion 2017 Facebook page Paviliun Thailand yang berada di Pameran seni Ke 57 La Biennale di Venezia.
Hasil karyanya yang tidak tahu malu dan tidak bermutu mengisi galeri di museum pribadi milik Bernard Arnault (pemilik LVMH, Louis Vuitton Moët Hennessy). itu adalah perbandingan yang sempurna: pembuat tas tangan untuk kaum elite internasional sekarang memamerkan sampah yang disamarkan menjadi seni.

Sebaliknya, ketika sebuah hasil karya seni memiliki arti yang mendalam baik secara intelektual dan estetika, karya tersebut dapat melambung tinggi. Terlebih lagi, seni yang berhubungan dengan dunia nyata memiliki relevansi dan resonansi.

Melihat paviliun Amerika dan hasil karya seniman kulit hitam, Mark Bradford, yang mengubah hasil karyanya menjadi sebuah tafsiran tentang sebuah negara yang berperang dengan dirinya sendiri.

Dia seakan-akan seperti mengunci pintu depan dan memaksa para pengunjung masuk pintu samping. Langit-langit lorong yang tampak berwarna kuning terlihat seperti rambut Donald Trump. Hal itu sangat memuakkan dan kotor, seperti Donald Trump yang “Hebat”.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau