Didirikan pada 1956, Lincoln Centre, yang terletak persis di jantung seni area Manhattan, sejak awal didukung oleh miliarder Rockefeller melalui Rockefeller Brothers Fund, yang memiliki misi untuk menjadikan New York City kota seni dunia.
Sejak itu Lincoln Centre dianggap sebagai barometer seni New York. Para seniman yang tampil di situ diseleksi ketat melalui audisi dengan akurasi artistik yang sangat tinggi.
Beberapa seni pertunjukan yang ditampilkan di teater itu The New York Philharmonic Orchestra, Juliard School, New York City Ballet, dan Mostly Mozart Festival.
Pianis jazz dari Indonesia Joey Alexander juga memulai karier di New York City dengan tampil di panggung Lincoln Center bersama salah seorang pemusik jazz ternama dunia, pemain trompet Wynton Marsailis.
Selama satu bulan, Mhya, yang mewakili Indonesia bersama para sutradara seni panggung lain, dari 23 negara lain, mengikuti berbagai pelatihan, dari penulisan naskah, art directing, stage directing, hingga ke berbagai hal teknis panggung.
Mhya juga mendapat kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi bersama para sutradara panggung pertunjukan musikal di New York City.
Berikut ini adalah wawancara Mhya oleh Program Director/Produser VOA, Naratama Rukmananda, ketika Mhya berkunjung ke Washington DC:
VOA: Bagaimana proses Mhya hingga diterima dalam workshop ini?
Mhya: Pada bulan Februari lalu, aku submit aplikasi ke Lincoln theatre. Dalam aplikasi itu, aku menyerahkan essay dan satu buah tulisan naskah pagelaran karyaku. Kalau dihitung totalnya ada lebih dari 100 halaman yang dikirim ke New York.
Ternyata, awal Maret mereka bales melalui e-mail bahwa aku diterima di program ini. Bersyukur sekali, apalagi aku termasuk dalam lima sutradara yang mendapatkan dukungan fund dari Lincoln. Jadi untuk program ini, mereka melakukan seleksi dan akurasi.
VOA: Apa saja pelajaran yang Mhya dapatkan?
Mhya: Dalam program ini ada pelatihan untuk script reading for play, lalu ada persiapan untuk pergelaran. Juga, hal-hal teknis seperti lighting dan audio. Seluruh proses hingga play kami pelajari.
VOA: Bila dibandingkan dengan seni pertunjukan di Indonesia, apakah perbedaannya?
Mhya: Sangat banyak ya. Dan, yang paling terasa adalah speed of work. Semuanya dijalankan dengan disiplin waktu yang ketat. Dalam program ini saja, jadwalnya padat banget, start jam 10 pagi hingga selesai jam 10 atau 12 malam.
VOA: Apakah tema dari workshop ini?
Mhya: Temanya, Making theatre in time of change. Bagaimana kita bereksplorasi dalam seni teater atau seni pertunjukan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat.
VOA: Apakah ada seni Indonesia yang Mhya bawa dalam workshop ini?
Mhya: Dalam program ini ada 67 sutradara dari 23 negara. Kami bersama-sama memikirkan ke depan, untuk menghasilkan sebuah play yang bermanfaat bagi masyarakat.
Kami saling berbagi ilmu dan share pengalaman. Saya mengulas tarian kecak dari Bali dan cerita tentang Ramayana. Saya ajak mereka untuk menginterpretasi kecak dan Ramayana menurut imajinasi masing-masing. Jadi, kami bersama-sama belajar dasar dan konsep tari kecak.
VOA: Bagaimana caranya menjadi seorang sutradara seni pertunjukan?
Mhya: Menurut saya, dan dari apa yang saya dapatkan dalam workshop, kalau ingin menjadi sutradara pertunjukan, harus mempunyai bakat atau kemampuan di bidang seni, seperti seni suara atau seni tari, seni akting atau seni musik. Dalam workshop ini, kami harus menunjukkan kemampuan seni kami.
VOA: What's next?
Mhya: Pembelajaran selama di Licoln center ini akan saya kaji dan renungkan. Dan, banyak banget ide yang ingin saya share dan terapkan di Jakarta. Di Amerika sudah ada beberapa teman di New York. Kami akan kolaborasi di Festival Edinburg di Inggris tahun depan.
VOA: Ada tips dari Mhya untuk para sutradara seni pertunjukan Indonesia?
Mhya: Untuk para pekerja seni di Indonesia, jangan cepat puas, berani membuat terobosan baru, dan mari membawa nama Indonesia lebih besar lagi dalam skala dunia. (nr)
https://entertainment.kompas.com/read/2017/07/23/111500410/sutradara-seni-pertunjukan-mhya-johannes-bahas-tari-kecak-di-as