Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejatinya, Nasib Dangdut di Tangan Anak Muda

Setelahnya, musik pop dan rock yang masuk dari Barat dan pengaruh musik etnis membentuk dan melanggengkan musik Dangdut.

Menariknya, para aktor intelektual yang turut mendorong perkembangan Dangdut dari masa ke masa adalah anak muda. Sejak awal, anak muda telah menjadi ‘motor’ penggerak Dangdut.

Mereka tak hanya menjadi pelaku musik Dangdut – baik musisi maupun penyanyi – tetapi juga menjadi barisan penikmat dan penonton yang menggariskan selera pasar. Atas dasar kehadiran anak muda pula, musik Dangdut muncul, berkembang, dan terus hidup bersama masyarakat. Dan niscaya, Dangdut muskil berkembang tanpa peran anak muda.

Muda Sejak Muasal

Silang sengkarutnya budaya Timur Tengah, India, dan Melayu di Indonesia melahirkan musik Dangdut. Keturunan Arab yang tinggal di perkampungan-perkampungan urban seperti Pekojan dan Krukut di Jakarta, Kauman di Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang, serta Ampel di Surabaya, berjasa mengembangkan Orkes Gambus. Nasib mujur menyertai mereka – musik Gambus diminati dan menjadi pengiring wajib pesta-pesta perkawinan, khususnya di antara para warga Betawi di Jakarta.

Salah satu pemain Gambus paling termasyhur kala itu adalah Syech Albar – ayah dari vokalis God Bless, Ahmad Albar. Pada tahun 1935, pada usianya yang ke-27 tahun, petikan gambus dan suaranya telah diabadikan dalam piringan hitam (Shahab, 2004:25). Kesuksesan Albar mendorong terbentuknya orkes-orkes Gambus lainnya. Dalam catatan sejarawan Alwi Shahab, saking tingginya pamor musik Gambus pada tahun 1950-an, Radio Republik Indonesia sampai membuat siaran tetap musik Gambus.

Selanjutnya, budaya India yang jadi cikal bakal kuat musik Dangdut berkembang pesat berkat peran industri film. Film musikal dari India silih berganti menghiasi layar perak Indonesia pada tahun 1950-1964 atas izin impor dari Sukarno (2012:64).

Kala itu, mengimpor film India memang dinilai lebih murah ketimbang memproduksi film di dalam negeri. Selain itu, India relatif aman dari retorika anti-Barat Sukarno karena mereka dianggap sama-sama Asia, dan terasosiasi dengan budaya Timur Tengah yang Islami (Susanto, 1992:205).

Pada masa ini, terjadi pola mimikri yang menarik. Musisi lokal mulai memainkan ulang lagu-lagu dari film musikal India ini dengan sepersis mungkin – lazimnya disebut ‘persis kaset’. Namun, mereka juga menuliskan ulang atau menerjemahkan lirik lagu tersebut dari bahasa India ke bahasa Indonesia, dengan makna yang seringkali tidak berhubungan dengan teks aslinya. Proses peniruan dan penerjemahan musik India ini kian mempopulerkan musik India, dan menjadi embrio dari Dangdut.

Masa-masa pra-Dangdut ini melahirkan bintang bernama Ellya Agus – kemudian dikenal dengan nama Ellya Khadam. Ia memulai kariernya pada tahun 1950 pada usia 18 tahun, dan bergabung dengan beberapa Orkes Melayu (OM) seperti OM Kelana Ria pimpinan Adi Karso dan Munif Bahasuan, OM Chandralela pimpinan Husein Bawafie, dan lainnya. Pada dekade 1950 dan 1960-an, Ellya menuai popularitas berkat kesuksesan lagu Boneka dari India, dan perannya di film-film Indonesia yang meniru gaya film India. Ketika itu, ia masih berusia di bawah 30 tahun.

Pada saat bersamaan, Orkes Melayu di Indonesia tak lagi memainkan lagu-lagu Melayu asli seperti Makan Sirih Berjauh Malam atau lagu Melayu Deli seperti Pulau Puteri (Lohanda, 1991:140). Orkes lokal ini mulai bersinggungan dengan musik Gambus dan India yang kian populer pada masa itu. Komposer seperti A. Kadir dan Husein Bawafie mulai memimpin Orkes yang memainkan campuran antara musik Melayu dengan nada-nada Hindustan. Kala itu, muncul pula Orkes Melayu dengan gaya Gambus kental – O.M Sinar Kemala dengan biduan-nya, A. Rafiq.

Jangan pikir bahwa A. Rafiq adalah biduan Melayu-Gambus yang kuno dan bergaya kaku. Memulai rekaman pada dekade 1960-an ketika ia masih berusia 18-19 tahun, Rafiq hijrah ke Jakarta pada tahun 1969 dan menjadi bintang radio, film dan televisi sebelum menginjak usia kepala tiga. Gayanya necis, parasnya tampan nan rupawan, suaranya khas, dan busana yang ia kenakan terinspirasi oleh pahlawan rock and roll, Elvis Presley.

Saat itu, seorang musisi muda bernama Oma Irama turut muncul bersamaan dengan membawakan lagu Melayu, juga India. Oma, Ellya, dan A. Rafiq adalah tiga dari sekian banyak nama yang diakui sebagai aktor penting dalam pembentukan Dangdut.

Namun, sejarah kemunculan mereka menunjukkan bahwa sejak awal, Dangdut memang dirancang sebagai bentuk adaptasi dan – dalam kasus-kasus tertentu – pembangkangan terhadap bentuk kebudayaan lama.

Bagi kalangan tua, musik Dangdut yang mengadaptasi dan mengobrak-abrik tatanan musik India, Melayu, dan Gambus dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi musik India, Melayu, dan Gambus ‘asli’. Terbukti, saat itu masih banyak Orkes Gambus yang setia dengan gayanya, dan masih banyak Orkes yang membawakan lagu India dengan gaya ‘persis kaset’.

Perlu waktu sebelum pembaharuan musikalitas oleh angkatan pertama dangdut bisa betul-betul berkembang. Dan tak bisa dipungkiri, pergeseran sebuah rezim dan dewasanya angkatan baru anak muda turut berpengaruh pada perubahan ini.

Baca selengkapnya...

Artikel ini telah dimuat di kanal jurnalruang.com pada 2 Oktober 2017 dengan judul "Sejatinya, Nasib Dangdut di Tangan Anak Muda".

https://entertainment.kompas.com/read/2017/10/05/053000410/sejatinya-nasib-dangdut-di-tangan-anak-muda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke