Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Evolusi Film Horor Indonesia Sepanjang 83 Tahun

Ditandai dengan kehadiran film The Promise pada Februari 2017. Berlanjut ke Gunung Kawi dan film Ular Tangga. Kemudian muncul film Danur: I Can See Ghost yang berhasil meraup dua juta lebih penonton pada Maret lalu.

Setelahnya, seperti sedang berlomba maraton, film-film horor lain muncul satu per satu berebut menarik perhatian penonton. Sebut saja film Jailangkung, The Doll 2, Ruqyah: The Exorcism, Mereka yang Tak Terlihat, Pengabdi Setan, Hantu Sei Ladi, dan masih banyak lagi. 

Berdasarkan sejumlah literatur, film horor sudah 83 tahun menghantui Nusantara. Pada 1934, berselang delapan tahun dari anak pertama film Indonesia, film bergenre horor pun lahir.

Judulnya Doea Siloeman Oelar Poeti en Item arahan sutradara The Teng Chun alias Tahyar Idris. Kisah film produksi Cino Motion Pictures itu terinspirasi dari karya sastra kuno China.

Setahun kemudian, The Teng Chun kembali merilis dua film horor yang lagi-lagi mengangkat kisah tentang siluman, berjudul Ang Hai Djie dan Tie Pat Kai Kawin.

Lepas dari tema siluman, hadir film horor berjudul Tengkorak Hidoep (1941) yang disutradarai oleh Tan Tjoei Hock. Film yang bernyawa satanic atau demonic horor itu laris manis pada masanya.

Namun setelah itu, publik Indonesia harus gigit jari. Industri film Indonesia mengalami goncangan karena kedatangan Jepang ke Tanah Air pada 1942. Film horor pun mati suri.

Delapan tahun kemudian, setelah Jepang mengakui kemerdekaan Indonesia, perfilman Nusantara bangkit kembali. Namun bagi genre horor harus menanti hingga 1971, saat sutradara M Syarieffudin membuat film berjudul Lisa yang berlatar psychological horror.

Meski tak laku keras seperti pendahulunya Tengkorak Hidoep, Lisa membuka pintu untuk film-film horor lainnya.

Pada tahun yang sama, Suzanna yang kemudian melegenda sebagai "Ratu Film Horor", melakukan debutnya dalam film Beranak dalam Kubur.

Tema film-film horor di Indonesia perlahan bergeser ke subgenre demonic horror berpadu dengan okultisme, sadisme, seks, dan komedi pada sepanjang 1973-1979.

Film-film itu adalah Cincin Berdarah (1973), Si Manis Jembatan Ancol (1973), Drakula Mantu (1974), Kemasukan Setan (Dukun) (1974), Kuntilanak(1974), Arwah Penasaran (1975), Pembalasan Guna-guna Istri Muda (1978), Tuyul (1978), Kutukan Nyai Roro Kidul (1979), dan lainnya.

Film-film horor Eropa juga banyak memberi ilham, salah satu contohnya hadirnya tokoh drakula yang merupakan monster gotik Eropa. Namun seiring itu makhluk-makhluk gaib lokal, di antaranya tuyul, kuntilanak, pocong, dan sundel bolong mulai bermunculan.

Unsur seksualitas dan kekerasan yang banyak mewarnai film-film horor Indonesia sebelumnya dibuang jauh-jauh. Para pemuka agama menjadi "pahlawan utama" melawan iblis dan kekuatan gaib dalam film horor.

Periode selanjutnya, tepatnya memasuki era 1990-an, dunia film Tanah Air memasuki masa kemunduran.

Baik karena kemunculan stasiun-stasiun televisi nasional yang menjadi sarana hiburan baru penonton, maupun karena mandeknya kreativitas. Film-film horor yang ada kebanyakan merupakan sekuel dari film sebelumnya.

Sementara sisanya, film bergenre horor masa itu mendapat embel-embel "esek-esek". Misalnya, film Gairah Malam (1993), Godaan Perempuan Halus (1933), Misteri di Malam Pengantin (1993), Cinta Terlarang (1994), Bisikan Nafsu (1996), Mistik Erotik (1996), dan Birahi Perempuan Halus (1997).

Lalu pada akhir 1990-an, lahir subgenre baru yakni biographic horror dalam film Kisah Nyata Dukun AS (Misteri Kebun Tebu) (1997) dan sociohistorical horror Misteri Banyuwangi (1998).

Pada era milenial atau abad ke-21, film horor mengalami titik balik dengan lahirnya film Jelangkung karya sutradara Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Film tentang sekelompok remaja urban berburu hantu itu membawa tren uji nyali dalam film horor Indonesia.

Namun masa ini juga mengadaptasi jurus lama dengan menaburkan bumbu seksualitas dan komedi. Bahkan ada satu periode di mana pembuat film horor "doyan" melibatkan bintag-bintang film porno luar negeri. Itu terlihat dalam film Suster Ngesot (2007) dan Setan Budeg (2008), Suster Keramas (2009), Hantu Tanah Kusir (2010), Rintihan Kuntilanak Perawan (2010), dan Mandi Goyang Pinggul (2011).

Lalu muncul tren hantu di lokasi tertentu, misalnya Terowongan Casablanca, Hantu Jeruk Purut, Rumah Pondok Indah, dan Mall Klender.

Setelah itu, produksi film horor sempat menurun. Masih tetap ada, namun tak begitu terdengar dibandingkan genre lain seperti film biografi atau sejarah, film religi, film laga, dan komedi atau drama-komedi.

Pada 2017, horor kembali menjadi tren, bahkan mulai diperhitungkan karena masuknya sejumlah sejumlah film horor ke dalam daftar film Indonesia terlaris sepanjang masa. Merujuk pada laman filmindonesia.or.id, ada empat film horor yang bertengger dalam 10 besar Box Office Indonesia.

Mereka adalah film Pengabdi Setan dengan 3.672.669 penonton, Danur: I Can See Ghosts 2.736.157 penonton, film Jailangkung yang meraih 2.550.271 penonton, dan The Doll 2 dengan 1.226.864 penonton. Keberhasilan empat film yang memiliki identitas subgenre yang beragam itu membawa angin segar pada genre film horor Tanah Air.

Belum lagi, rekor yang dicetak film Pengabdi Setan arahan sutradara Joko Anwar yang mampu mendapatkan 13 nominasi atau menjadi nomine dalam 13 kategori Festival Film Indonesia (FFI) 2017.

Lalu bagaimana masa depan film horor Indonesia nanti? Mari menanti wajah film horor Indonesia selanjutnya.

https://entertainment.kompas.com/read/2017/10/30/135137010/evolusi-film-horor-indonesia-sepanjang-83-tahun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke