Salah satunya, Kishore Mahbubani, seorang pemikir tangguh serta paling vokal bagi Asia yang menyebut bahwa selama ini bangsa Asia belajar dengan sangat keras atas masa lalunya dari Barat.
Kata Mahbubani, bangsa Asia telah mengalami transformasi “tujuh pilar kebijaksanaan Barat", yakni pasar bebas, meritokrasi, pragmatisme, Iptek, budaya damai, pendidikan, dan penegakan hukum. Ke-7 hal tersebut semuanya justru mulai ditinggalkan oleh sebagian bangsa Barat sendiri.
Dalam bukunya Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan (2008), Mahbubani menyadarkan kita dengan tesisnya itu. Realitas di sejumlah negara –negara di Barat cenderung mengutamakan energi aktif untuk berkonflik di beberapa kawasan, kemudian menerapkan pasar bebas yang ambigu, seperti proteksi produk-produk tertentu.
Negara-negara Barat itu dalam beberapa dekade cenderung sistem demokratisasinya juga terinfeksi faham non-meritokrasi, yang menerima nilai-nilai kekerabatan dan perkoncoan ketimbang menggunakan kemandirian nalar yang obyektif.
Di Universitas Harvard pada 2015, dalam ceramahnya Mahbubani menegaskan lagi, mengutip data dari IMF bahwa pada dekade 80-an Amerika Serikat menyumbang perekonomian global sampai 25 persen. Sementara China hanya 2,2 persen.
Namun dalam kurun belum sampai 40 tahun pada 2014, ekonomi Amerika Serikat melemah, hanya menyumbang 16, 2 persen secara global.
Selayaknya kebangkitan Asia tidak perlu ditanggapi dengan panik oleh Barat. Alih-alih memunculkan konflik, Barat semestinya menawarkan Timur berbagi tanggung jawab global dalam menangani berbagai problem bersama.
Seni China dan Zhu Wei
China sebagai raksasa Asia selain India dalam dunia seni kontemporer dunia juga sangat diperhitungkan di Barat. Ribuan tahun warisan ekspresi seni yang manifestasinya ekspresi -ekspresi kuat dari era berbagai dinasti memberi optimisme budaya China memberi sumbangsih pada seni kontemporer global.
Nama-nama seperti Zhang Xiaogang, Yue Minjun, Fang Lijun, Ai Wei Wei, Cai Guo-Qiang, sampai Zhu Wei sangat diperhatikan oleh museum maupun Galeri Nasional serta event bergengsi semacam Biennale Art global.
Tak ketinggalan institusi lelang komersil seperti Christie’s dan Sotheby’s sejak 3 dekade lalu memampangkan karya-karya seni kontemporer China.
Salah seorang perupa kuat China itu, Zhu Wei, yang dikenal dengan ciri lukisan tinta China kontemporer selama Agustus sampai awal Oktober 2017, berkesempatan berpameran solo di Museum Nasional Indonesia.
Sebagai perupa Zhu Wei selain suntuk melukis, ia dikenal menyukai menuliskan gagasan-gagasan artistiknya dan pandangan-pandangan isu-isu sosial dan politik pun sikap kritis terhadap negerinya. Buah pikirannya berserakan dalam esai-esainya yang diekspresikan di sejumlah media pernerbitan seni dan budaya serta buku-buku.
Zhu Wei bersama sejumlah pengamat, kurator, dan direktur museum di Asia mengungkap di buku pengantar pamerannya di Jakarta dengan judul sama dengan pamerannya: Virtual Focus.
Dalam buku tersebut menyebut keberadaan seni kontemporer China dan relasinya dengan budaya China. Yang berkaitan dengan masa revolusi kebudayaan, pasca-tragedi Tiananmen, imitasi seni China terhadap gaya modern Barat, juga seni kontemporer China yang berhadap-hadapan dengan seni kontemporer global.
Yang paling menarik adalah bagaimana pengamat seni Asia menggungkap bahwa Zhu Wei mewarisi teknik lukisan China klasik yang berusia 3.000 tahun sebagai sebuah sikap artistiknya hari ini, yakni teknik dan gaya tradisional Gongbi.
Gongbi menunjukkan pada kita, bahwa eksplorasi artistik tidak menanggalkan akar-akar kultur yang mengendap, bahkan ribuan tahun lamanya.
Zhu wei mendemontrasikan transformasi lukisan China klasik untuk mengadaptasi perkembangan seni kontemporer lokal di China. Bahkan menawarkan kekuatan lokalitas dalam dialog seni yang dikatakan dalam abad-abad sebelumnya hanya bagian dari “seni tradisional” yang kemudian kini dikatakan sebagai kekuatan ciri global yang datang dari China.
Dari pameran semi retrospeksi itu, kita bisa menilai seberapa jauh budaya China telah memengaruhi seniman-seniman China melihat dirinya sendiri, masa sekarang dan warisan ribuan tahun ekspresi visualnya.
Zhu Wei terlahir dari keluarga sederhana di pinggiran bagian barat pabrik baja Beijing, setelah keluar dinas militer. Ia mengejar karir artistiknya sebagai seniman.
Di sekitar akhir 90-an, namanya dikenal dan awal milenium baru memberinya kesempatan keliling dunia dan karyanya dipamerkan serta bisa dinikmati publik dunia di sejumlah 40 museum internasional.
Pameran solonya, Virtual Focus, yang merupakan kegelisahan perjalanan estetiknya semenjak dari 1987 sampai 2017 adalah sebuah pameran serial termutakhir yang dimulai dari Beijing Today Art Museum, Nanjing Academy of Art Museum, Museum of Contemporary Art Singapore sampai Museum Nasional di Jakarta.
Pameran Zhu Wei ini secara terang benderang, dalam konteks Indonesia, membuka lagi kesempatan bahwa seni kita, terutama dengan ciri budaya lokal-nya, sedang dinanti dunia. Tatkala era disruptif melanda, jagat seni kontemporer dunia memunculkan arasnya yang baru.
Sebuah gerbang selamat datang menyambut seniman-seniman Indonesia yang membawa beragam budaya azali kita dari khasanah Nusantara, seperti seni-seni yang berakar dari budaya Arab, China, Melayu, dll yang telah mengendap pada diri kita.
https://entertainment.kompas.com/read/2017/12/11/203606510/kekuatan-asia-dan-seni-ala-zhu-wei