Syamsul Fuad merupakan penulis naskah asli film Benyamin Biang Kerok yang dirilis pada 1972. Sebelum menggugat Falcon dan Max Pictures, Syamsul meminta royalti senilai Rp 25 juta kepada dua rumah produksi itu.
"Jadi Pak Fuad sempat meminta uang Rp 25 juta. Ini bukan masalah uang. Kalau kami memberi uang sama Pak Fuad sebagai tali kasih, kami beri. Tapi kalau meminta uang sebagai yang mengaku pencipta, kami keberatan," kata Lydia di kantor Falcon Pictures, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (20/4/2018) sore.
Sebab, menurut pihak Falcon, Syamsul bukanlah pemegang hak cipta cerita Benyamin Biang Kerok yang diproduksi ulang ke versi masa kini oleh sutradara Hanung Bramantyo.
"Kami memang tidak memberikan (Rp 25 juta) karena pada saat itu kami tidak sepakat atas permintaan uang itu untuk kepentingan apa. Kalau untuk menghargai dia sebagai senior, insan perfilman, ya kami beri. Tapi bukan meminta hak (royalti) sebagai pencipta," ujar Lydia.
Mengenai pengakuan Syamsul bahwa Max Pictures melalui produser Ody Mulya Hidayat menawarnya menjadi Rp 10 juta, Lydia menegaskan tak tahu menahu.
"Kalau itu saya kurang jelas. Pak Fuad meminta secara informal. Yang jelas bagi kami Falcon, itu hanya masalah pemberian itu untuk apa?" katanya.
"Kalau pemberian itu untuk mengakui dia sebagai pencipta, kami waktu itu enggak mau. Tapi kalau kami memberi untuk tali kasih, ya kami beri. Itu poin yang kami tegaskan di sini," ucap Lydia lagi.
Pihaknya khawatir jika mereka semudah itu menyanggupi permintaan Syamsul Fuad, hal itu akan berdampak luas.
"Kalau semua orang, misal kameramen ngomong dia pencipta, mati industri kita. Kalau ini terjadi, perfilman nasional efek akibatnya semua yang buat film nanti ngaku-ngaku. Kami pengin semua dalam koridor yang jelas. Kami keberatan kalau dia mengaku sebagai pencipta," ujarnya.
Lydia menambahkan masalah apakah secara hukum Syamsul Fuad adalah pemegang hak cipta cerita Benyamin Biamg Kerok atau tidak, pihaknya menanti pembuktian di pengadilan.
"Dia punya bukti apa? Nanti kan dibuktikan di pengadilan. Yang jelas, kami membeli dari pihak yang sebagai pencipta, pemilik ciptaan ini. Kami dibebaskan dari segala tuntutan pihak ketiga dan lain sebagainya, ada klausul itu. Kalau dia mau nuntut, ya salah orang," ucap Lydia.
"Ini bukan masalah uang, tapi masalah prinsip. Kami menghargai Pak Fuad, waktu premiere diundang dan namanya pun ditulis di credit title. Kami memberikan apresiasi, itu namanya hak moral. Tapi untuk hak ekonomi dia tidak punya," tambahnya.
Dalam gugatannya, Syamsul menuding tergugat telah melakukan pelanggaran hak cipta atas cerita Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung.
Penulis berusia 81 tahun ini juga menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp 1 miliar untuk harga penjualan hak cipta film Benyamin Biang Kerok yang tayang 1 Maret 2018 lalu. Selain itu, Syamsul menuntut royalti penjualan tiket film tersebut senilai Rp 1.000 per tiket.
Tak cuma itu, ia pun menggugat para tergugat untuk membayar ganti rugi immateril sebesar Rp 10 miliar yang mencakup kerugigan akan hak moralnya sebagai pencipta atau pemegang hak cipta cerita Benyamin Biang Kerok.
Terakhir, Syamsul meminta para tergugat melakukan permohonan maaf kepadanya dan klarifikasi melalui media massa terhadap masyarakat atas pelanggaran hak cipta tersebut.
Tak terima, salah satu rumah produksi yang membuat film Benyamin Biang Kerok versi baru, Max Pictures, menguggat balik Syamsul ke PN Jakarta Pusat dan menuntut ganti rugi senilai Rp 50 miliar.
https://entertainment.kompas.com/read/2018/04/20/194650010/alasan-falcon-pictures-berkeberatan-beri-royalti-rp-25-juta-pada