Maka itu, dari keduanya kita mengenal imajinasi berperan. Yang sebagian ahli setuju bahwa menafsirkan tentang keberadaan religi, membutuhkan nalar, hati (iman) dan imajinasi sekaligus.
Kemudian, di manakah narasi tentang fiksi? Ia bisa jadi berjalan mondar-mandir di antara yang imajiner dan yang bernalar. Adapun spiritualisme menubuh dalam nadi kalbu.
Ada dua karya perupa yang cukup menarik dan mungkin perlu ditinjau ulang, dituliskan, dan layak dibincangkan di sebuah pameran berskala akbar beberapa saat lalu. Keduanya terkait dengan konsep fiksi dan spiritualisme.
Pameran raksasa itu digelar pada awal Mei 2018 sampai ditutup pada pertengahan bulan yang sama di Galeri Nasional Indonesia.
Puluhan suguhan menakjubkan dari karya seniman-seniman dengan medium lukisan, video art, instalasi interaktif, dokumentasi aktivisme, sampai yang tak berjarak mendapatkan respons langsung pengunjung di lokasi pameran. Ada karya-karya kinetik yang membutuhkan sentuhan atau usapan-usapan tangan pengunjung.
Kesemuanya ini disusun dan ditata di ruang pameran oleh empat kurator, yang telah memberi tafsiran karya-karya seniman via ekspresi seninya soal identitas, budaya pop, spiritualisme, dunia virtual dan teknologi-informasi, serta kondisi politik di dalam negeri.
Dengan membingkainya menjadi satu rangkaian utuh dari berbagai konsep, pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik yang multipolar (beragam arah) sejak reformasi 20 tahun lalu.
Peristiwa seni yang akrab disebut manifesto ini adalah sebuah tradisi pernyataan bersama seniman-seniman dengan karya-karyanya, yang dihelat sejak 2008 dengan event dua tahunan (bienalle).
Fiksi mengandung kebenaran?
Kembali pada dua karya yang cukup menggelitik, yang pertama adalah kolaborasi seniman muda dari Bandung, Zico Albaiquni dan Ahmad Dwihandono.
Penulis memilih mengulasnya bukan karena medium yang dianggap konvensional, yakni lukisan.
Menurut Zico dan Ahmad, seperti dalam surel yang dikirimkan ke penulis, bagaimana mungkin fiksi bisa mengandung kebenaran dan akhirnya menyulut polemik?
Ada dua aspek yang memungkinkan hal itu terjadi: aspek kognitif dan aspek emosional.
Kesulitan membedakan antara fiksi dan kenyataan tak lepas dari dua aspek kebenaran yang ada dalam fiksi tersebut. Fiksi mengandung hipotesis berdasarkan kenyataan, yang memicu emosi yang benar-benar dirasakan oleh apresiatornya.
Tanpa verifikasi terhadap hipotesis yang diajukan, aspek emosi mendominasi kognisi bisa jadi berakibat idealisasi berlebihan, bahkan tergelincir pada fanatisme, hingga seseorang memperlakukan fiksi seolah-olah kenyataan.
Apalagi jika hal itu ditarik dalam konteks kondisi psikologi komunal yang terpolarisasi seperti saat ini di masyarakat.
Karya kolaboratif mereka, yang berjuluk "Fiksi", memang merespons masyarakat Indonesia yang tengah kembali mencari-cari sandaran identitas religi-politisnya.
Fenomena tersebut dengan elok disampaikan melalui apa yang disebut oleh Zico dan Ahmad sebagai perwujudan representasi kelompok-kelompok politik yang berkontestasi.
Karya mereka terdiri dari lima lukisan, yang katanya adalah mengungkap beban pikiran-pikiran komunal atas nostalgia sebagai sesuatu yang ideal. Kondisi imajinatif tanpa cela.
Sebuah impian yang dianggap "kebenaran yang seragam". Seperti disandingkannya lukisan potret mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, dan Presiden kedua RI Soeharto, yang tiba-tiba menggunakan atribut-atribut bernuansa kultur Arab.
Menurut perupa-perupa ini, representasi nostalgik kedua figur tersebut digambarkan tidak sesuai dengan kenyataan dan diberi atribut keislaman yang berlebihan.
Lukisan sejenis, dalam pose dan gesturnya, banyak dijumpai pada budaya Islam Indonesia, yang umumnya mempresentasikan potret atau lukisan tokoh pemuka agama Islam yang dihormati (ulama, pendiri pondok pesantren, seperti aulia atau ajengan).
Gambar-gambar tersebut seolah-olah refleksi pemimpin yang paling ideal bagi masyarakat Muslim. Meskipun semua orang tahu, baik Ali Sadikin maupun Soeharto adalah pemimpin yang tak sempurna.
Mereka tak terhindarkan dari kebijakan-kebijakan yang kurang tepat di wilayah publik di masa lalu. Jauh sekali dan berbeda peran dibanding dengan sosok para aulia.
Mereka berdua, seniman-seniman itu, Zico dan Ahmad dengan karya-karyanya, sedang membuat narasi fiksi.
Lukisan lain, "Peta Jayakarta 1527 H (Hijriah)" adalah sebuah jukstaposisi pengandaian Jakarta di masa depan atau 88 tahun ke depan bila dihitung sejak 1439 H tahun ini.
Peta merepresentasikan idealisasi sudut pandang tertentu, misalnya Monumen Nasional (Monas) mengalami perubahan drastis. Ini ditandai dengan nama-nama bangunan dan landmark seolah kota lama Jayakarta kembali muncul, dengan asal-muasal atribut pemimpinnya dulu, Fatahillah dengan wilayah Sunda Kelapa, dan lain-lain.
Karya terakhir adalah lukisan berupa teks. Semacam manifesto "Piagam tentang Fiksi" yang merenungkan ulang bahwa idealisasi atau utopia sebenarnya adalah khayalan-khayalan belaka.
Bisa jadi itu semua akan menjadi kenyataan kelak. Namun, kita layak mawas diri. Peran kerja nalar yang kritis sebagai tonggak dasar ilmu pengetahuan tetap diperlukan.
Meskipun imajinasi mengakselarasi fiksi, hal itu untuk menjaga pemahaman tentangnya agar tak tergelincir sarat emosi dan fanatisme belaka.
Spiritualisme dan tarian sufi
Sementara itu, ruangan khusus di samping kanan di dalam Hall A Galeri Nasional Indonesia oleh perupa Rudi Atjeh sengaja digelapkan. Hanya beberapa sorot lampu menerpa sosok-sosok berjubah putih tanpa kepala dan kaki berayun-ayun.
Di sekelilingnya, beberapa rebana berdiri mengambang diam. Di depannya, replika kayu senjata mesin otomatis M-16 tergantung sedemikian rupa digubah menjadi gitar listrik, lengkap dengan sound system-nya.
Aura ruangan menyemburkan rasa mistis. Sampai satu saat pengunjung menggerakkan senar-senar di tubuh senjata itu, dan pengunjung lainnya mengentakkan tangannya memukul rebana. Ruang senyap menjadi berderak berisik.
Atau sebaliknya, terdengar irama dengan ritme harmonis. Rupanya sensor suaralah yang mengubah ruang bisa menjadi lantunan musik yang enak didengar, menggugah rasa terdalam kalbu atau sekadar ingar-bingar menusuk telinga.
Sementara tubuh-tubuh putih secara otomatis bergerak, berayun dengan seksama dalam putaran-putaran tertentu bagai tarian sufi, prosesi whirling dance yang khusuk itu.
Tatkala kekerasan di luar sana bertakhta, tangan-tangan yang mengalunkan musik indah berhenti. Mereka tak paham memetik komposisi yang mengeluarkan alunan merdu. Senjata itu lurus ke tubuh-tubuh.
Ajakan cinta, empati, dan kelembutan sengaja oleh Rudi Atjeh disuguhkan secara kontradiktif di karyanya ini.
Kali ini perupa Aceh yang lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menyukai musik, dan memiliki masa lalu yang dihabiskannya dengan mengekplorasi imaji tentang bayang-bayang dan irisan-irisan kertas tentang kondisi negeri, itu menampilkan instalasi memukau.
Karya yang dibuat tahun lampau dan sempat dipamerkan selain di Galeri Nasional itu berjudul "Jauh di Hati, Dekat di Mata", sepertinya hendak mengolok-olok, mengembalikan segalanya pada diri.
Kita berkomitmen di hadapan segala yang menampak, yang terukur pun bersolek karenanya.
Spirituliasme, mungkin bagi Rudi Atjeh, adalah pergolakan tak berkesudahan tentang upaya manusia, seumur hidupnya mengontrol tangan-tangan itu. Menyentuh dawai demi dawai "gitar cum senapan" dengan cinta yang tertambat di hati.
Tepukan-tepukan lembut berirama di rebana-rebana, menggerakkan hati kita, luruh seutuhnya. Bersujud dan bersimpuh di semesta milik-Nya.
https://entertainment.kompas.com/read/2018/05/23/081015310/menafsir-fiksi-menakar-spiritualisme