KUTIPAN dari Umberto Eco, pemikir kebudayaan dari Italia di atas adalah sebuah pernyataan yang esensial tentang seni dan hidup. Manusia memang ditakdirkan ringkih, jauh dari sempurna.
Kecantikan juga tak abadi, waktu dan perilakulah yang memudarkan. Seni berabad-abad memeluk erat keburukan dengan pertunjukan-pertunjukan drama, lukisan-lukisan, teks-teks sastra provokatif agar kita tak pongah, sebab manusia acapkali lengah.
Karya seni menjadi lahan kontradiktif sekaligus kontemplatif, membincangkan hidup yang menyimpan kerapuhan-kerapuhan, seperti: tragedi, kebinasaan, kekerasan, teror, keputus-asaan. Namun ia merayap, menyibak harap yang ditambatkan justru dari penggambaran peristiwa memilukan.
Eco menceritakan dari awal hingga akhir, laiknya sebuah leksikon. Tiap-tiap zaman, ribuan tahun terlewat bagaimana sejarah seni ditampilkan dalam narasi, visualisasi atau penggambaran makna-makna yang buruk, tentu dengan argumen-argumen mencerahkan dari tiap era.
Eco mengutipnya dari kata-kata dan karya-karya para novelis, penulis, penyair, pelukis, filsuf dll dalam bukunya On Ugliness tersebut.
Demikian pula di karya lukisan milik Kukuh Nuswantoro dalam ilustrasi lukisan di awal tulisan ini. Kukuh menggambarkan sebuah peristiwa tragik dengan visualisasi kengerian-kengerian.
Sekumpulan figur-figur menyerupai manusia tengah berkerumun dalam keganjilan. Ekspresi-ekspresi mukanya, sosok-sosoknya menyiratkan kesedihan, kemuraman, angkara murka dengan goresan-goresan perih yang ekspresif, dikelilingi bangunan-bangunan ilustratif menjulang yang nampak lamat-lamat tergambar di latar belakang.
“Peradaban modern melahirkan orang-orang cerdas menguasai dunia. Apa saja bisa diciptakan dengan teknologi terkini, dan nilai-nilai kemanusiaaan telah dikesampingkan. Politik dan uang memaksa nafsu jahat, menjadi tak terkendali dan di sanalah perang total dimulai,” ujarnya.
Namun, jika kita jeli, Kukuh memberi penanda harap, meski ia secara keseluruhan mempresentasikan kondisi yang skeptis. Masih di latar lukisannya, yang menampak warna kebiruan, ada sosok berpelukan, keinginan Kukuh menguatkan jiwa.
Ia meyelipkan pesan dengan dua makhluk tersebut dari kerumunan figur-figur lain yang mengguratkan kejelekan. Dua sosok itu, bisa jadi sebuah lantunan doa harapan untuk masa depan.
Farhan Siki & Keburukan Rupa Urban
Dua bulan berjalan, Mei dan Juni 2018 tergelar dua event pameran yang cukup menarik untuk disimak. Yang pertama adalah pameran solo perupa Farhan Siki, yang mengeksplorasi seni dan kondisi urban yang digelar di Galeri Kertas, Studio Hanafi, Jakarta Selatan.
Ia menggoda kita, menerbangkan imaji-imaji abstraktif bentuk-bentuk aneh dalam torehan-torehan di kertas-kertas, teks-teks huruf dan angka, sampai instalasi kubus-kubus putih yang dikatakannya sebagai simbol bahwa kesempurnaan kemasan adalah sesuatu paling didamba pada abad ini. Terutama perumpamaan bagi produsen objek-objek konsumsi yang dipasarkan demi mengompori hasrat.
Farhan hendak menggiring kita tentang ironi di sana. Keindahan, kecantikan, idealisasi atau kesempurnaan adalah impian-impian. Ia perwujudan mesin libido manusia untuk tidak mengatakan cukup, tak menerima apa yang kita butuh, tapi meledakkan keinginan-keinginan.
Farhan dengan karyanya mencoba mengingatkan, bahwa separuh hidup kita adalah kegagalan demi kegagalan mengejar itu.
Seperti katanya dalam wawancara dengan penulis, “Angka-angka dan huruf yang tertera di lukisan-lukisan itu, instalasi juga, adalah barcode bagi hasrat ketidaksadaran kita. Semuanya semu, yang diukur seberapa banyak kita menghamburkan uang mengonsumsi sesuatu. Logo-logo yang menghipnotis, dan kita adalah wajah-wajah dahaga tentangnya. Tanpa kuasa menolaknya, kita putus asa namun itu indah,” ujarnya.
Dari karyanya Urban Rupture (2018), sungguh kita menyaksikannya, keburukan-keburukan visual itu terhampar jelas. Tumpuk-menumpuk, corat-coret kata-kata dan imej-imej seperti desire, mythos, hello rich people, kemudian sosok-sosok berteriak beringas dalam aura gelap seperti lukisan Edvard Munch, Der Schrei der Natur (1893), teks-teks seperti eat fresh sampai plesetan dalam bahasa Jawa-Inggris, art e mukiyo, yang kita kesulitan memahami arti dan makna stabilnya.
Di kota besar segalanya menjadi tiba-tiba retak bahkan patah oleh hasrat.
Hanafi-Goenawan dan Ruang Sengkarut
Yang ke-2, di akhir bulan Juni, kita dikejutkan dengan pameran kolaborasi dua jawara yang mengagumkan. Satu perupa dan yang lain penyair.
Bukan latar belakang profesi berbeda yang menarik, karena mereka berdua terbiasa bekerja lintas media dan disiplin keilmuan seni. Tapi, hasil kolaborasi mereka telah membangun sebuah dialog yang bisa mengonstruksi ruang-ruang baru yang bisa dimaknai apapun, mungkin paling tepat: ruang sengkarut yang indah.
Tema-tema dan lukisan-lukisan awal digagas Hanafi yang dikatakan sebagai “ruang”; yang kemudian dikirimkan untuk direspons oleh “ruang lain” tempat bagi goresan atau torehan-torehan Goenawan Muhammad yang dinarasikan oleh Hanafi sebagai tokoh-tokoh kanon dari seni Barat seperti Ernst, Picasso atau Tapies adalah biasa.
Yang menjadi luar biasa adalah bagaimana ruang fisik di Galeri Nasional Indonesia memberi mereka kesempatan mengeksplorasi energi visual sebebas-bebasnya. Jauh menerabas; dari sekadar lukisan-lukisan yang terpasung dalam bentuk dwi matra.
Dari “ruang-ruang ide” awal, “ruang-ruang” yang termanifestasi di lukisan-lukisan kolaboratif itu, berlanjut terus, menimbulkan tafsiran-tafsiran anyar. Yang terpenting kegilaan mereka menciptakan spasial fisik merangsang pengunjung mendapatkan “ruang di dalam ruang” dalam imajinasi mereka sendiri.
Ruang fisik bersengkarut, tindih menindih, timpa menimpa dipertajam lagi tatkala spasial fisik pembatas antar ruang tertentu pada dinding galeri dipersulit bagi pengunjung untuk mengaksesnya.
Lukisan-lukisan disusun sedemikian rupa, agar tak nyaman untuk dilihat. Maka, di sana makin sengkarut auranya, tak tertib sama sekali sekaligus buruk, namun sekali lagi: penjelajahan estetis nan indah.
Kondisi ruang sepertinya segugus karya-karya instalasi yang membangun sebuah seni pertunjukan, berderak pun berteriak. Mereka berdua menggunakan strategi mengacau ruang, mempermainkan bentuk dan komposisi, mendistorsi idealisasi display lukisan dalam mengapresiasi, mendekonstruksi pengertian-pengertian yang ajeg tentang ruang.
Visualisasi saling tindih membuat pengunjung memaksa imajinasinya terbang liar ke tataran entitas antah berantah dan di sanalah apresian menemukan kemerdekaan sepenuhnya menginterpretasi seni.
Hal yang menyentuh adalah tatkala karya lukisan yang bertutur sosok Stephen Hawking, fisikawan masyhur itu. Dengan elok, Hanafi dan Goenawan Muhammad menghiperbolikkan kecacatan fisik sang tokoh dengan menyusun beberapa kursi roda di depan lukisan yang berjudul Waktu dan Stephen Hawking, 250x 350cm dan instalasi kursi roda (2018) itu dengan penataan tertentu.
Seolah Hawking di sana sedang berdialog dengan sejumlah penderita cacat fisik seperti dia. Atau, jangan-jangan Hawking sedang berdialog dengan dirinya yang lain? Bagaimana pun, suasana terlihat chaos, selain kursi roda, juga pipa-pipa yang saling menghalangi, bertumpuk, tetapi sekaligus mengungkap keharuan yang intim.
Tentang ingatan kolektif kita pada diri Hawking dengan segala keterbatasannya sebagai manusia plus cacat fisiknya. Di sana, karya seni, dengan ruang-ruang fisik maupun imajiner yang sengkarut tadi, menafsirkan Hawking secara kontradiktif sekaligus kontemplatif.
Sosok Hawking menyibak anugerah, ia memberi sumbangsih begitu besar pada peradaban ilmu pengetahuan justru dalam fisik cacatnya. Alhasil, karya-karya instalasi dan lukisan itu, menawarkan dua sisi mata koin: pencerahan yang dijangkarkan di dermaga keburukan-keburukan rupa.
https://entertainment.kompas.com/read/2018/06/26/212643510/seni-buruk-rupa-yang-mencerahkan