Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dari Pisang Berakhir di Pisang

JAKARTA, KOMPAS.com--Lima penari di panggung, dua perempuan dan tiga laki-laki dalam pose yang berbeda, membuka pertunjukan dengan memakan pisang.

Mereka menikmati betul saat makan pisang. Adegan ini memang asosiatif, menggiring imajinasi penonton pada urusan libido. Benar saja, setelah mereka selesai makan pisang dan kulitnya dibuang, para penari mengerang dan bergetar.

Tentu saja, lantaran ini karya tari, yang semula tak beraturan, perlahan gerakan dan erangan mereka menjadi harmoni hingga membentuk komposisi yang indah, eksploratif dan inspiratif.

Suara calung dan nyanyian yang menggunakan bahasa Banyumasan, menjadi penegas bahwa komposisi tari berjudul Cablaka karya Otniel Tasman yang digelar di Teater Salihara, Jakarta,  8 - 9 Agustus 2018, memang berpijak dari tradisi kesenian lengger Banyumas.

Gerak tari Lengger yang selama ini dikenal simpel dengan titik berat pada geliat pinggul dan gerak tangan yang lebar, oleh Otniel dieksplor secara detil. Mulai dari ujung kaki hingga kepala para penari digarap oleh Otniel dengan seksama, dan itu tentu saja menguras tenaga para penarinya.

Untunglah para penari yang terdiri Otniel Tasman, Aditiar, Ahmad Saroji, Mekratingrum Hapsari, dan Sutrianibgsih; tampil menunjukkan kelasnya sebagai penari hebat, walhasil pertunjukan yang berlangsung sepanjang dua jam itu enak ditonton.

Dalam pertunjukan ini, yang tak kalah menarik adalah tata musiknya. Yenny Arama dan Jungkung menghidupkan suasana melalui bunyi secara proporsional.

Masuknya dangdut koplo pada pertunjukan ini, tentu saja menjadi pelengkap sempurna acara. Sebab, spirit lengger adalah kemerdekaan berekspresi. Interaksi antara penampil dengan penonton, senggakan2 liar dan vulgar, adalah ekspresi yang biasa melekat pada kesenian lengger, kendati belakangan mendapat tekanan untuk tampil lebih sopan.

"Jam papat nabuh lonceng, bakul kupat silite menceng!" Itu salah satu lagu urakan yang dinyanyikan oleh para penari. Artinya, jam empat menabuh lonceng, penjual kupat anusnya menceng.

Cablaka sendiri sebagai judul tari, sebetulnya mengacu pada sikap hidup masyarakat Banyumas. Yakni kekuatan untuk memperjuangkan hidup yang berkelindan dengan kekuasaan.

Setelah peluh bercucuran, disertai erangan birahi, ketegangan, canda ran tawa, para penari menyebar di beberapa sudut. Sama seperti adegan awal, mereka juga makan pisang. Cuma ini kali, mereka mengajak penonton untuk mengingat kepada yang maha hidup. Pertunjukan yang semula penuh denga. Gerakan erotik, berakhir dengan suasana yang transendental.

https://entertainment.kompas.com/read/2018/08/09/134513710/dari-pisang-berakhir-di-pisang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke