Banyaknya film bertema sejarah telah memberikan publik cara baru untuk mengakses sejarah. Namun apakah film sejarah layak menjadi rujukan tentang sejarah?
Sentuhan kreativitas dan kebutuhan proses film seringkali membuat film tak sepenuhnya sama dengan apa yang tertulis pada buku sejarah itu sendiri.
Belakangan, adanya perbedaan dengan apa yang disampaikan film dan teks sejarah, seringkali memicu perdebatan dan reaksi. Para sejarawan pun turut mengkritik film sejarah karena dianggap terlalu mendramatisir alur cerita dengan alasan kreativitas.
Hanung Bramantyo sebagai salah satu sutradara yang telah beberapa kali menggarap film sejarah melihat ini sebagai hal yang wajar. Menurut dia, film adalah sebuah produk seni yang memiliki ruang tafsir.
"Itulah fungsinya film. Itulah saya katakan, film adalah subyektif, tidak ada yang objektif," ucap Hanung ketika ditemui dalam pemutaran perdana film Sultan Agung: Tahta, Cinta, Perjuangan, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Minggu lalu.
Beberapa film sejarah yang pernah digarap oleh Hanung adalah Sang Pencerah (2010); Soekarno: Indonesia Merdeka (2013); Kartini (2016), dan yang terbaru adalah Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018).
Sutradara berusia 42 tahun ini telah beberapa kali dikritik atas film sejarah yang dibuatnya, seperti Soekarno: Indonesia Merdeka dan Kartini.
Terbaru, film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta juga mendapat kritik dari Gusti Kanjeng Ratu Bendara yang merupakan putri bungsu dari Sultan Hamengkubuwono X dan GKR Hemas.
Kritik tersebut dilontarkan terkait penggunaan motif parang pada batik yang dipakai Sultan Agung saat dinobatkan menjadi raja dalam salah satu adegan film.
Hanung melihat kritik tersebut sebagai suatu pengingat yang baik, di mana, akan membuat masyarakat menjadi sadar akan kehadiran film tersebut.
"Apa yang dilakukan oleh Gusti Bendoro Ayu (GKR Bendara) itu adalah sebuah cara beliau dalam mengingatkan warganya ketika mau berbuat sesuatu pada junjungannya," tutur Hanung.
Masih kata Hanung, hal tersebut terjadi karena sulitnya dokumentasi sejarah terhadap perjalanan hidup Sultan Agung. Sehingga penggambaran sosok Sultan Agung secara visual hanya didasarkan pada uraian teks sejarah dan literatur yang ada.
Mengutip ucapan sejarawan Didi Kwartanada, Hanung beralasan kalau hal tersebut adalah kekuatan dari sebuah film. Menurut suami Zaskia Adya Mecca ini film sejarah tetap harus punya pijakan yang kuat, dalam artian sumber sejarah yang jelas. Sehingga ramuan kreativitas dalam film sejarah bisa dirasionalisasikan dengan baik dan diterima alasannya.
"Itulah kekuatan sebuah film, yang tidak dimiliki sejarah, ia melampaui apa yang tidak dimiliki sejarah, contoh film bisa membuat Sultan Agung berhadapan dengan Jan Pieterszoon Coen, contohnya, sejarah, Kartini tidak pernah ke belanda, tapi film bisa membuat Kartini ke Belanda. Tapi tentunya harus ada alasan," tutur Hanung.
Hanung menegaskan bahwa film tidak bisa menjadi bahan pelajaran sejarah apalagi dijadikan rujukan sebagai sumber sejarah. Menurut dia, film akan selalu subjektif karena merupakan salah satu syarat dalam membuat film.
"Kalau mau bejalar sejarah di perpustakaan. Film fungsinya mengembalikan kembali ingatan ke anak-anak muda, oh… ada toh yang namanya Sultan Agung, Soekarno, biar kemudian bisokop itu sebagai tempat dan trigger orang-orang belajar sejarah lebih dalam lagi, itu poinnya." tegas Hanung.
Terkait film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta, Hanung mengaku ada beberapa buku yang dijadikannya sebagai sumber yang kuat untuk pijakan skenario. Beberapa buku tersebut adalah "Runtuhnya Istana Mataram" karya H J de Graaf, "Roro Mendut" karya YB Mangunwijaya, "Mangir" karya Pramoedya Ananta Toer, serta beberapa literatur dari Belanda.
Selain itu, Hanung juga menggunakan lukisan Sultan Agung karya pelukis S Sudjojono untuk dijadikan acuan memvisualisasikan sosok Sultan Agung.
Menutup pembicaraan, Hanung menyampaikan bahwa perdebatan seputar data sejarah pembuatan film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta juga terjadi dalam internal tim produksi.
"Perdebatannya justru pada eksekutif produser, bu Mooryati (Soedibyo), beliau percaya Sultan Agung dari Solo, tidak hanya dari Jogja, nah ini berbahaya, menurut saya Sultan Agung ada sebelum ada Jogja sebelum ada Solo, jadi tidak bisa Sultan Agung menggunakan beskap Solo, jarik Solo, Solo kan coklat, Jogja latar putih, sementara sejarawan Jogja merasa Sultan Agung dari Jogja. Nah ini repot toh, makanya dalam film kadang-kadang kita pake coklat, kita pake putih. Karena ini bapaknya orang Jogja, orang Solo," tutup Hanung Bramantyo.
https://entertainment.kompas.com/read/2018/08/18/130547410/hanung-bramantyo-jangan-belajar-sejarah-dari-film