Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Film Dokumenter The Call From the Sea Ungkap Masalah Laut dan Suku Bajau

Film itu sudah masuk ke 50 festival film di 15 negara, termasuk Kanada, Nigeria, Inggris, dan Indonesia.

Dengan pemanasan global dan pencemaran yang telah membuat kondisi laut menurun, bagaimana nasib masa depan Suku Bajau?

Pulau Kaledupa di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, terkenal akan keindahan alam, tak terkecuali terumbu karang warna-warni yang menjadi atraksi favorit para penyelam dari mancanegara.

Tidak hanya itu, pulau ini juga menyimpan rahasia budaya yang sudah tumbuh bertahun-tahun lamanya.

Hidup sepiring dengan lingkungan
Tepatnya di Sampela, bermukimlah orang-orang Bajau (Bajo), yang hidup berpindah-pindah di perairan Indonesia, Filipina, dan Malaysia.

Orang-orang Bajau sudah bermukim di Sampela sejak 1960-an. Hidup mereka bergantung pada laut.

Walau tak jauh dari daratan, mereka tinggal di rumah-rumah yang didirikan di atas permukaan laut. Inilah yang membedakan Suku Bajau di Sampela dengan yang di tempat-tempat lain, yang biasanya tinggal secara tradisional di kapal dan nomaden.

Sesekali mereka ke daratan untuk mendapatkan air bersih yang mereka barter dengan ikan dari laut. Makanan yang mereka konsumsi pun merupakan hasil dari laut.

Jika banyak orang mengira orang-orang Bajau itu hanyalah seperti nelayan modern, kenyataannya cukup berbeda.

Mereka hanya menangkap hasil laut sesuai kebutuhan tanpa membuang jaring ke laut. Dalam kata lain, mereka tetap menjunjung tinggi kelestarian laut.

"Orang Bajau itu satu piring dengan lingkungan," papar Andar Halim dalam film dokumenter The Call from the Sea, karya sutradara Taylor McNulty dari AS.

Sejak sepuluh tahun lalu, Andar Halim bersama Saipa, istrinya, dan kini dua anaknya, Halim dan Salma, menetap di Sampela.

Sejalan dengan waktu dan kemajuan zaman, Andar merasakan berbagai perbedaan mendalam yang terjadi di lingkungannya.

Ia sadar akan permukaan air laut yang semakin naik, ikan yang semakin jarang, dan kesehatan terumbu karang yang menurun, yang kini bertambah pucat.

Laut "sakit", sumber daya menurun
Berdasarkan temuan yang dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018, dari 1067 site di seluruh Indonesia terdapat 387 site atau 35,18 persen terumbu karang yang berada dalam kategori jelek, 366 site masuk ke dalam kategori cukup, 245 site tergolong baik, dan hanya 70 site yang masuk ke dalam kategori sangat baik.

Terumbu karang dalam kategori jelek menunjukkan peningkatan. Perubahan iklim, pemutihan karang, dan hama, dikatakan sebagai beberapa faktor alami penyebab penurunan kondisi terumbu karang.

Faktor tidak alami atau antropogenik yang timbul karena aktivitas manusia seperti pencemaran, pengeboman, dan pengambilan karang juga berdampak negatif terhadap terumbu karang.

"Populasi Bajau semakin bertambah, tapi resources hari ke hari semakin turun, itu ada masalah," lanjut Andar Halim dalam film tersebut.

Menurut Andar, penyebabnya adalah, antara lain, penggunaan pestisida, racun, dan deterjen, yang membuat laut merasa sakit.

Belum lagi, permintaan yang kian bertambah akan sumber daya laut yang sudah mulai berkurang.

Overfishing telah terjadi. Jika dulu orang-orang Bajau biasa menangkap ikan yang besar-besar, kini hasil mereka melaut hanya berupa ikan-ikan yang masih kecil.

Apa yang akan terjadi jika ikan-ikan ini benar-benar punah?

The Call from the Sea ungkap keresahan orang-orang Bajau
Inilah yang mendorong Taylor McNulty kemudian menggarap film dokumenter 15 menit The Call from the Sea, yang dirilis pada 2016.

Besar di Florida, AS, yang dekat dengan pantai, telah menumbuhkan kecintaannya akan laut. Selama hampir sebulan Taylor tinggal bersama orang-orang Bajau.

"Saya ingin membuat film tentang orang-orang yang hidup berketergantungan dengan laut dan mengetahui perubahan apa yang mereka rasakan yang tengah terjadi di laut, serta kecemasan mereka," ungkap Taylor ketika berbagi cerita dengan VOA Indonesia belum lama ini.

Kecemasan Andar akan masa depan laut terlihat dalam film yang berhasil menarik perhatian dunia dan tembus di 50 festival film di 15 negara, termasuk Kanada, Nigeria, Inggris, dan Indonesia,

"Andar bahkan takut dengan generasi ke depannya, anak-anaknya, apa yang akan mereka lakukan jika kondisi laut semakin buruk," ujar Taylor, yang kini menetap di New York ini.

Jika memang kehidupan mereka terancam, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali pindah dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru, sebagaimana orang-orang Bajau pada umumnya.

"Andar mengatakan, 'Kami bisa beradaptasi. Kami bisa mengatasinya jika memang hal ini terjadi. Kami sudah melakukannya selama ratusan tahun'," kata Taylor.

Masa depan Suku Bajau terancam punah
Kehidupan "nelayan" ala Suku Bajau ini bagaikan budaya yang turun temurun di komunitas.

Menyelam sambil mencari hasil laut adalah keunggulan orang-oramg Bajau.
Menurut temuan Melissa Ilardo, seorang peneliti dari University of Copenhagen di Denmark, orang-orang Bajau mampu menyelam hingga kedalaman 70 meter tanpa bantuan alat.

Adaptasi genetik membuat mereka memiliki limpa yang lebih besar daripada limpa manusia biasa, yang membuat mereka mampu bertahan lebih lama di dalam laut.

Anak-anak Suku Bajau pun sudah belajar menyelam dan memancing sejak kecil. Mereka menghabiskan waktu bermain di laut.

Sekolah di Sampela baru berdiri sepuluh tahun lalu. Namun, ketika berkumpul bersama keluarga, orangtua kerap mengajarkan anak-anak mengenai cara menangkap ikan, hutan mangrove atau bakau, bulan, matahari, dan sebagainya.

Era yang kian modern dan kondisi laut yang menurun membuat Andar cemas akan masa depan anaknya, yang mungkin tidak akan lagi menjadi nelayan seperti kakeknya.

"Kehidupan Bajau yang melaut itu hanya di dalam story saja, hanya di dalam cerita," curhat Andar kepada Taylor dalam film.

Melalui film The Call from the Sea, Taylor berharap agar orang lebih peduli lagi akan Bumi dan lebih terbuka, juga berempati ketika mendengar orang-orang Bajau berbicara tentang laut.

"Semoga orang lebih sadar dengan suhu Bumi yang terus memanas. Hal ini berpengaruh terhadap dunia, terumbu karang, laut, dan ikan-ikan kita," kata Taylor.

Tak lupa Taylor berpesan untuk selalu menjaga kelestarian laut, mendaur ulang, dan tidak menggunakan sedotan plastik.

https://entertainment.kompas.com/read/2019/01/15/144904410/film-dokumenter-the-call-from-the-sea-ungkap-masalah-laut-dan-suku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke