Simpati dan empati terhadap komunitas Muslim berdatangan baik dari pimpinan politik tertinggi dunia sampai masyarakat biasa.
Mereka secara global berduka, sejalan dengan itu menguatkan masyarakat Muslim, bahwa Islam sebagai religi dan pembawah risalah kedamaian – seperti memaafkan peristiwa pembunuhan tersebut dari keluarga korban, telah dibincangkan kembali parasnya.
Dengan segera jejak-jejak Islam selama ratusan tahun pada masa lalu kembali terngiang-giang di benak pada bulan-bulan ini.
Sementara di Tanah air, keprihatinan kembali hadir tatkala yang muncul dari hari ke hari di masyarakat meruyaknya fenomena pengentalan identitas. Utamanya musim kampanye Pilpres (Pilihan Presiden) yang memancing kerawanan konflik berlatar identitas keyakinan.
Media sosial dipenuhi isu-isu mengenai religi, yang cenderung dipelintir menjadi fitnah atau hoaks, membuat kita tercenung dan gamang.
Tak ada jalan lain, kita bersama sejenak menoleh pada jejak-jejak budaya Islam yang dianggap memberi bukti “toleransi dengan pemeluk religi lainnya”.
Bisa jadi artefak patung, elemen arsitektur, lontar, kaligrafi, perhiasan, mahkota atau baju pun “jimat” yang bisa mengungkap makna: Islam yang teduh, Islam yang toleran, Islam yang utuh.
Hanya kembali kepada ke sejarah, tempat di mana kita semua berefleksi, yakni museum akan membawa pelajaran berharga dari masa lalu ke masa kini.
Penulis kembali menyusuri artefak demi artefak, membuka narasi-narasi yang dapat dipertanggung-jawabkan, dengan catatan-catatan para ahli (baik sejarawan, arkeolog maupun kurator museum) dan bertandang langsung ke Museum Nasional.
“Museum, dalam hal ini Museum Nasional Indonesia sangat membuka diri pada publik. Jadikan tempat ini sebagai upaya perawat kebinekaan yang dalam waktu sama menebalkan pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai azali bangsa ini,” ungkap Siswanto, Direktur Museum Nasional Indonesia kepada penulis.
“Tapi, kita bisa belajar banyak pada penanda-penanda masa silam yang otentik tentang Islam” ujar Siswanto menekankan.
Penulis meresponsnya, dengan hanya bergumam sejenak, “Andai saja ada sebuah debat terbuka calon presiden yang tak dilakukan di hotel yang mewah, tapi di sebuah museum alangkah menentramkan hati. Bukankah, dengan berargumentasi pada lawan debat di antara objek-objek masa lalu yang penuh hikmah, akan menghindarkan kesembronoan berbicara, setidaknya mereka akan sangat berhati-hati?”
Jejak Islam Nusantara
Kembali kita menyusuri jejak-jejak budaya Islam, yang bagi orang awam, terutama Islam dilekatkan pada era Wali Songo, yang muncul pertama kali di Jawa Timur (Maulana Malik Ibrahim) pada abad ke-14 sampai ke-15, yang selalu memikat hati.
Atau, catatan-catatan ahli pengobatan, Tome Pires, dalam Summa Oriental dalam lawatannya, jauh sebelum era itu mengabarkan pada kita.
Sebagian ilmuwan juga meyakini, hadirnya Islam, jauh melampaui dari abad-abad “kejayaan Wali Songo” saja, yakni dengan adanya artefak berupa nisan Fatimah Binti Maimun dari keturunan Persia (atau Turki?) pada sekitar abad 11-10, di kampung Leran, Gresik, Jawa Timur.
Dengan panduan buku almarhum Uka Tjandrasasmita, seorang arkeolog senior dalam bidang Islam di Nusantara mungkin akan menghindarkan kita dari kesesatan asumsi bahwa Islam hari ini merupakan hasil utuh hanya dari satu kawasan, yakni: Arab, Timur Tengah.
Uka, dengan keluasan ilmunya mengantar kita begitu kompleksnya paras Islam, terutama budaya yang yang kemudian mengalami akulturasi dengan nilai-nilai lokal, yang membawa kekayaan majemuknya negeri-negeri di teritori Nusantara, yang membedakan dari kawasan-kawasan lainnya, seperti Persia, China dan India (Gujarat) secara bertahap sampai saat ini.
Uka bahkan menelisik, bahwa Islam datang pada abad ke-7, dengan eksistensi kerajaan besar Malaka dan hubungannya dengan Pulau Sumatera dan tentu saja, daerah Palembang (Sriwijaya) serta pengaruh-pengarunh dinasti-dinasti di China yang dapat dideteksi di sana.
Uka mengombinasikan ilmu arkeologi dan sekaligus etnologi dengan sejarah dan berbagai disiplin keilmuan seperti antropologi, seni, sastra seperti: hikayat, tamboo, narasi babad lokal sampai catatan-catatan peziarah asing layaknya I-Tsing, Marcopolo atau Rabindranath Tagore, zaman kolonialisme Belanda dan lain-lain.
Salah satu yang menarik dari tulisan Uka, yang bisa ditemui artefaknya di Museum Nasional adalah seni bangun atau arsitektural Islam yang begitu jamak bentuknya, dengan membebaskan ekspresi dengan mengambil elemen-elemen Hindu-Budha.
Kita bisa kenali jika dikaitkan dengan relief candi-candi di Jawa Timur, seperti Candi Surawana, Penataran atau Kedaton, dan Jago yang bahkan bangunan-bangunan semi-modern yang bisa kita temui di bangunan-bangunan Pura di Bali sampai sekarang.
Pada beberapa replika masjid kuno, pintu-pintu atau akses masuk ruangan utama Masjid banyak yang dibuat rendah, yang berguna memaksa orang harus hati-hati agar tidak terantuk kepalanya jika memasuki pintu utama.
Konstruksi tersebut, sangat mungkin adalah upaya penghormatan terhadap masjid, seperti yang termaktub pada Al-Quran (Surat At Taubah 17-18). Masjid-masjid ini tetap berfungsi untuk beribadah, dengan menimbang bukan bentuknya namun fungsinya, yang mengagungkan asma Tuhan dalam Islam.
Selain itu, dalam ilmu morfologi, yang diadaptasi dalam seni bangunan, ada proses transformasi bentuk-bentuk khusus, terutama atap yang bertingkat-tingkat pada masjid adalah penyesuaian lokalitas lklim tropis.
DI iklim tropis, acapkali hujan dan udara dingin (sebagai sirkuit ventilasi), yang membedakan iklim sahara yang teramat kering di Timur Tengah dan negeri-negeri Islam lainnya.
Artefak lainnya, adalah mahkota atau Regalia, yang dalam bahasa Kalimantan Timur adalah Ketopong. Seperti dalam ilustrasi di artikel ini, kita bisa melihat komposisi mahkotanya sangat terpengaruh oleh bentuk-bentuk mahkota Kerajaan Hindu pada masa Kutai kuno (Kutai Martadipura di Muara Kaman).
Mahkota yang dikenakan oleh Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899) pada seremoni penganugerahan sebagai raja, adalah bukti kemampuan seni tinggi klasik pengolahan emas abad-abad itu.
Konstruksinya akan seperti membentuk meninggi dan melingkar yang disebut sebagai brunjungan dihiasi tujuh berlian dan gambar burung garuda di belakangnya.
Kita beralih pada objek kain, atau warisan sejarah tentang tekstil. Kain tampan, yang biasa digunakan dalam ritual adat di daerah Lampung dan kemudian tenar di seantero Indonesia, sebenarnya adalah kekhasan kain model produksi tenun yang digunakan sejak lama di kawasan Asia Tenggara.
Dari ilustrasi dapat dilihat pengaruh Islam di sana yang bertemu motif dan corak Hindu-Budha. Kain-kain yang biasanya berwarna cerah, kita lihat dominan dengan warna merah yang hangat dengan kekuatan spiritualitas bersimbol pola segitiga, pohon kehidupan yang menyatu tersebut.
Dua pedang ganda di bendera yang ada di perahu adalah pedang Zulfikar, yang menurut hikayat adalah pedang dari Khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Pedang ini biasa terinskripsi dari perhiasan-perhiasan dan kain yang dikenakan bangsawan pada masa Islam.
Kemudian kita berlanjut ke Nusa Tenggara Timur, ke Pulau Rote. Di Museum Nasional kita akan menyaksikan bagaimana kultur Islam yang kaya, yang pada masa lalu teks-teks suci dalam Kitabullah atau semacam doa-doa untuk keselamatan ditorehkan di baju atau kain-kain khusus sebagai pelindung.
Semacam izim atau jimat. Kebiasaan ini, terwariskan dari budaya Hindu, yang para nelayan Rote tatkala bersiap melayari lautan mengenakan baju-baju tersebut.
Ada simbol-simbol teks diantara huruf Arab yang menyerupai segugus gambar beberapa ekor macan. Ini mengingatkan kita, bahwa lambang Kesultanan Cirebon juga rangkaian kombinasi dari kaligrafi menyerupai bentuk tersebut.
Pesan yang hendak disampaikan adalah: keberanian dan permohonan perlindungan di lautan luas dengan memakai asma Allah SWT.
Pada akhirnya, membaca kumpulan tulisan dan buku para arkeolog, atropolog, sejarawan maupun ahli seni klasik sembari mengunjungi Museum Nasional adalah oase kenikmatan nalar dan rasa yang tak ada habisnya direguk.
Tentunya, ini merupakan kesegaran-kesegaran ruhani diantara fenomena banalnya kontestasi politik menjelang bulan April ini. Ayuk berkunjung ke Museum. (Bambang Asrini Widjanarko)
https://entertainment.kompas.com/read/2019/03/31/215307410/menenggang-empati-berkunjung-ke-museum-nasional