JAKARTA, KOMPAS.com--Seniman, kata perupa Heri Dono, pernah menempati posisi terhormat dalam strata sosial kemasyarakatan. Seniman zaman dulu bukan hanya sebagai "penghibur", tapi sekaligus seorang filsuf, ilmuwan, dan spiritualis. Namun sejak munculnya gelombang pop art, dadaisme, revolusi industri, seniman jatuh derajatnya lebih sebagai penghibur saja dan hanya dipujikan pencapaian teknik-tekniknya saja.
Maka, imbuh Heri Dono yang lahir di Jakarta pada 12 Juni 1960, dan kini berdomisili di Yogyakarta, melalui karya-karyanya, baik berupa lukisan maupun instalasi, dirinya ingin memecahkan kemandegan "posisi" tersebut.
Terutama melalui karya-karya instalisnya, Heri Dono menawarkan kemungkkinan-kemungkinan yang bisa menjadi perenungan masyarakat yang menyaksikan karya-karya dirinya.
Jam terbang Heri yang sudah tinggi, memungkinkan dirinya melihat fakta yang terjadi di dunia seni rupa. Maklumlah, sejak tahun 1990 Heri telah mengikuti puluhan kali residensi, baik di dalam negeri ataupun luar negeri, antara lain: Swiss, Inggris, Selandia Baru, Wales, Amerika Serikat, Singapura, Kanada, Jerman, Brazil, Norwegia, Cina, Korea Selatan, Belanda, dan Italia.
Bahkan, semenjak kuliah di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, dirinya telah mengantungi pelbagai penghargaan lukisan terbaik dua kali pada tahun 1981 dan 1985. Kariernya terus beredar di berbagai pameran kelompok maupun tunggal di seluruh penjuru dunia.
Medium yang digunakannya oleh Heri juga beraneka ragam, tetapi pilihannya sering jatuh pada karya instalasi yang menggunakan materi-materi 'sehari-hari' dan berteknologi sederhana. Di dalam figur-figur yang muncul pada karyanya, seringkali bisa dilihat pengaruh wayang kulit.
Itulah sebabnya, Heri tak cuma berurusan dengan kanvas, kuas, dan cat. Melalui karya-karya instalasinya Heri juga menggunakan teknologi untuk menguatkan sekaligus mempertegas bahwa seniman itu multitalenta yang memiliki pemikiran holistik.
"Sebenarnya yang menarik dari instalasi adalah, kita mengacu pada konsep-konsep prespektif mandala, antara manusia yang melihat dan seni ada pada ruang yang sama. Sama-sama subyek yangb saling terkoneksi. Intalasi secara mendasar memberikan kesadaran baru tentang apa yg terjadi, mendapat kesadaran baru, mempunyai reaksi untuk melakukan aksi. Kesenian tidak bisa membuat perubahan secara langsung, seniman hanya memberikan stimulus dan masyarakat yang akan melakukan perubahan itu sendiri," papar lelaki yang Ketika berumur tujuh tahun sering melihat acara pelajaran menggambar TV yang diasuh oleh pelukis Tino Sidin (almarhum).
Jika ada yang bertanya, apakah karya instalasi juga "laku" dijual? Heri Dono dengan tegas menjawab, "Bisa." Sebab menurut Heri, instalasi selain memberikan wacana media-media baru, tapi juga sebuah upaya melakukan perkembangan. Dalam media-media baru, seniman ditantang melihat kemajuan-kemajuan kehidupan, tidak menyerah pada apa yg diinginkan masyarakat, tidak harus dibeli, ini menjadi penting dari yang konvensional.
Heri lantas menunjukkan salah satu contoh karya instalasinya, berupa dua pengemudi kendaraan. "Pesannya adalah realitas yang ada di luar teori itu berada di jalan, di ruang realita. Ketika orang bicara soal kebenaran, orang-orang hanya berdebat melalui teori dalam bentuk teks. Tapi sebetulnya antara teks dan konteks itu penting sekali," ungkap perupa yang mulai menggambar sejak duduk di sekolah dasar ini.
Soal hobinya menggambar sejak SD, Heri bercerita, untuk pelajaran menggambar, dari SD sampai SMA, rapor Heri selalu merah. Karena, ia tak pernah menggambar sesuai dengan perintah gurunya.
Meski mendapat nilai merah, sejak SMA ia sudah mulai berpameran. Ia juga membuat patung. Ketika masih kuliah, Heri sudah ikut pameran, antara lain di Monumen Pers Solo dan di Parangtritis, Yogyakarta.
Kembali ke eksistensi seniman, menurut Heri, seniman harusnya melengkapi dirinya tak hanya soal kemampuan seni rupa, tapi juga paham sastra dan teknbnologi. Sebab menurut Heri, dalam terminologi Yunani, kesenian itu identik dengan teknologi.
"Demikianlah seharusnya seniman itu. Selain menguasai seni rupa, dia juga harus paham susastra, politik, teknologi, dan berbagai disiplin ilmu lainnya," ujar Heri di sela kesibukannya mengawal beberapa karyanya yang ikut dipamerkan dalam acara Art Moment Jakarta 2019 yang berlangsung di Hotel Sheraton Gandaraia City, 3 hingga 5 Mei 2019.
Dimintai pendapatnya tentang acara Art Moments, Heri berkomentar, "Acara ini menjadi penting, karena mempertemukan semua elemen seni rupa. Di sini berkumpul para perupa, galeri, kurator, dan juga kolektor, sehingga bisa terjalin komunikasi yang saling menguntungkan antar pihak. Indonesia bisa menyelenggarakan momen besar, padahal dulu kita hanya sebagai penggembira saja."
Heri Dono kerap menyebut dirinya sebagai seniman borongan, sebab dia melukis, membuat patung, membuat wayang, dan seni instalasi. Kalau sedang jenuh melukis, pengagum pelukis Affandi dan Sujarna Kerton ini menginstalasi; kalau jenuh dengan seni instalasi, ia menulis konsep pertunjukan seni rupa. Dengan nada bercanda, ia mengategorikan aliran karyanya sebagai “aliran sesat seni rupa”.
Tapi fakta menunjukkan, Heri Dono adalah perupa Indonesia yang menonjol saat ini. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini melewatkan masa kanak-kanaknya di Jakarta. Ia bukan dari keluarga seniman. “Saya menjadi seniman lebih banyak terbentuk oleh lingkungan,” kata Heri.
https://entertainment.kompas.com/read/2019/05/06/204833610/heri-dono-mengembalikan-eksistensi-seniman