Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Lentera Batukaru, Tutup Agenda Mei 2019 Bentara Budaya Bali

Pustaka Bentara kali ini akan membahas novel memoar Lentera Batukaru karya Putu Setia (Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda), yang diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada April 2019.

Lentera Batukaru berkisah tentang keluarga-keluarga sederhana di lereng Gunung Batukaru, Bali, yang berpemandangan indah dan berudara sejuk.

Terkait situasi 1960-an, keluarga-keluarga tanpa pendidikan memadai itu terbawa arus sejarah, dari apa yang disebut Tragedi G 30 S/PKI hingga Pemilihan Umum 1971 atau pemilu pertama Orde Baru.

Ketika itu banyak kisah kemanusiaan yang sedih. Putu Setia, yang pernah menjadi jurnalis pada sejumlah media, menuliskannya dengan pendekatan jurnalistik.

Ia tak sepenuhnya menggunakan bahasa sastra. Ia juga tidak menuangkan kemarahan dan kebencian.

Melalui novel memoar tersebut, Putu Setia menyampaikan pesan tentang bagaimana seseorang pasrah menerima takdir sekaligus tetap berusaha memerbaiki diri dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ia mengajak orang-orang untuk menempuh jalan damai, jalan spritual, dengan menyalakan lentera di lereng Gunung Batukaru.

Putu Setia juga menceritakan perjuangan panjangnya, dari menekuni profesinya sebagai jurnalis hingga menetapkan diri membuat pasraman Manikgeni di Pujungan, Tabanan, dan menjadi Pendeta Nabe pada 3 Juli 2012.

Pustaka Bentara menghadirkan tiga orang sebagai pembahas Lentera Batukaru: Widminarko (77), Wayan Westa (54), dan Putu Setia (78).

Widminarko, yang lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, dan menetap di Bali sejak 1962, merupakan pelaku sejarah era 1960-an.

Widminarko, yang pernah berkuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana, memulai kariernya sebagai jurnalis pada 1965 di Bali Post.

Ia menjadi Wakil Pemimpin Redaksi/Wakil Penanggung Jawab Bali Post pada 1 Mei 1968-31 Desember 2000.

Ia juga menjadi Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Bali pada 1983-1991.

Buku-buku karyanya, antara lain, Tantangan Profesi Wartawan Berita Kisah (2001), Bali dalam Ledakan Penduduk (2012), Era Aji Mumpung (2012), dan Mandiri Belajar Sendiri (2013).

Wayan Westa, yang lahir di Klungkung, Bali, juga jurnalis. Tulisannya masuk ke, antara lain, Bali Post, Kompas, dan Radar Bali.

Ia menyunting sejumlah buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, yaitu Wulan Sedhuwuring Geni (Antologi Cerpen dan Puisi Daerah), Seribu Kunang-kunang di Manhattan (terjemahan dalam 13 bahasa daerah), Sunari (novel bahasa Bali karya Ketut Rida), dan  Rabindranath Tagore.

Ia menulis buku Tutur Bali, yang diterbitkan oleh Yayasan Deva Charity, Utrecht, Belanda.

Putu Setia lahir di Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali. Ia pernah menjadi wartawan di sejumlah media.

Ia juga menulis kolom Cari Angin di Koran Tempo (dirangkum dan diterbitkan pada 2014).

Cerita-cerita pendeknya terkumpul dalam sebuah buku antologi berjudul Intel dari Comberan (1994).

Dua cerita pendeknya juga pernah dimuat dalam sebuah antologi berjudul Bali Behind The Seen (1996), yang disunting oleh Vern Cork.

Ia juga menulis esai tentang kehidupan di Bali, yang dikompilasi ke dalam buku Menggugat Bali (1986) dan edisi revisinya terbit pada 2014 dengan judul Bali Menggugat.

Buku tersebut berlanjut dengan buku-buku Mendebat Bali (2002) dan Bali yang Meradang (2006).

Ia menulis pula buku Wartawan Jadi Pendeta (2013), yang bercerita tentang dirinya yang beralih dari wartawan menjadi pemuka agama.

https://entertainment.kompas.com/read/2019/05/28/144614610/lentera-batukaru-tutup-agenda-mei-2019-bentara-budaya-bali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke