JAKARTA, KOMPAS.com--Melakukan suatu perjalanan untuk “sesuatu” selain alasan berlibur atau dinas kantor adalah kesempatan yang unik. Orang sering mengategorikannya sebagai ‘perjalanan riset’.
Dalam konteks kali ini, yaitu pementasan I La Galigo, “melakukan perjalanan” adalah inti. Bagaimana tidak, Sureq Galigo saja tidak merupakan suatu kitab utuh, melainkan tercerai-berai ada bagian yang dimiliki kolektor-kolektor pribadi dan ada yang sudah menjadi koleksi museum di luar negeri.
Untuk yang berada di dalam negeri, bagian-bagian dari kitab yang masih disimpan baik-baik ini, merupakan sesuatu yang sakral. Tidak sembarang waktu bisa dibuka atau diperlihatkan kepada sembarang orang.
“Izin” yang harus diperoleh bukanlah izin birokrasi pemerintah yang bisa selesai dengan sepucuk surat bermaterai, melainkan izin adat yang cukup berliku-liku dan harus melewati berbagai tahap.
Akhirnya Sampai ke Panggung (Perjalanan Rhoda Grauer, dramaturg I La Galigo)
Indonesia bukanlah sesuatu yang terlalu asing untuk Rhoda Grauer, seorang New Yorker yang sudah menetap di Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Kelola. Ia pertama kali mendengar Sureq Galigo pada akhir 1990 ketika melakukan penelitian untuk film tentang Bissu.
Penasihatnya di Sulawesi Selatan mendukung ide film ini sepanjang subjeknya diteliti secara cermat dan diperlakukan dengan bermartabat. “Untuk menghargai peran penting Bissu secara budaya,” ujarnya,
“Anda harus paham epik besar Bugis, Sureq Galigo. Bissu melacak asal-usul mereka sampai ke epik ini dan memperlakukannya sebagai benda keramat, dan sampai saat ini mereka masih menjalankan upacara yang digambarkan di naskah itu.”
Begitu bersemangatnya Rhoda untuk membaca Sureq Galigo, dan ia pun terhenyak ketika kenyataan mengatakan ‘mustahil’. Dengan perkecualian tiga bab yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, tidak satu bagian pun dari manuskrip ini, total 6.000 halaman folio lebih, yang sudah diterjemahkan dari bahasa Bugis Kuno arkaik ke bahasa modern.
Ada ringkasan sepanjang 1.000 halaman yang sudah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan disunting dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan bahasa Indonesianya yang tak seberapa dan dibantu banyak teman, ia berhasil membaca sebagian besar apa yang ada.
Sedikit demi sedikit, ia mulai pergi menjumpai pakar Galigo dari Indonesia dan luar negeri yang bermurah hati berbagi pengetahuan mereka tentang puisi epos ini, mereka memberinya ringkasan cerita dalam bahasa Inggris, membagi makalah penelitian mereka, dan mengundangnya ke pertemuan-pertemuan akademis di mana ia dapat berjumpa dengan para pakar lainnya.
Untungnya, ia kemudian diperkenalkan kepada Alm. Drs. Muhammad Salim, penerjemah paling terkemuka Sureq Galigo di dunia. Alm. Drs.Salim-lah yang kemudian berperan sebagai penasihat utama teks dan cerita, mengatakan bahwa kurang dari 100 orang di Sulawesi Selatan yang masih bisa membaca dan memahami manuskrip kuno itu.
Dalam perjalanannya menggali lebih dalam Sureq Galigo, timbul pemikiran untuk mengangkatnya menjadi sebuah pementasan. Ia pun menyambangi temannya, Restu I. Kusumaningrum direktur artistic Yayasan Bali Purnati, untuk bekerja sama mengangkatnya ke pentas. Keduanya sepakat untuk mengajak Robert Wilson sebagai sutradara.
https://entertainment.kompas.com/read/2019/06/28/191151910/persiapan-pementasan-i-la-galaigo