Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kesuksesan Sebuah Film Action Tak Lepas dari Peran Penata Laga

Pola gerakan-gerakan beladiri yang tersusun apik dalam suatu adegan, mengundang decak kagum dari setiap penonton yang melihatnya.

Tak sedikit aktor laga yang memiliki kemampuan beladiri mumpuni, juga dipercaya sebagai koreografer adegan pertarungan dalam film laga tersebut.

Bagaimana proses pembentukan koreografi, fungsi, serta pengembangannya menarik untuk diketahui. Apalagi, penuturan itu diceritakan oleh koreografer yang juga seorang aktor laga.

Uwais Team, tim koreografi beladiri yang didirikan oleh Iko Uwais dan kawan-kawan ini telah menorehkan banyak adegan laga yang sedap untuk dilihat.

Uwais Team terdiri dari 20 orang ahli bela diri dan stuntman dari berbagai disiplin ilmu bela diri yang berbeda-beda, seperti Pencak Silat, Wushu, Taekwondo, Boxing, Kung Fu, dan lainnya.

Kiprah Uwais Team terdongkrak seiring karier Iko sebagai aktor film laga. Berawal dari film The Raid (2012), Iko bersama Uwais Team, serta Yayan Ruhian dipercaya untuk menjadi tim koreografer fighting dalam film besutan Gareth Evans.

Uwais Team perlahan mulai mendapat ruang di berbagai proyek film laga, baik lokal maupun internasional.

Film Beyond Skyline (2017) yang disutradrai oleh Liam O'Donnell, adegan-adegan laganya juga ditangani oleh Uwais Team.

Namun, Uwais Team baru diresmikan saat produksi film Headshot (2015) yang disutradarai oleh Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel.

Kemudian, beberapa proyek yang pernah dikerjakan Uwais Team lainnya adalah The Night Come From Us, Foxtrot Six, dan Hit & Run.

Di luar film lokal, Uwais Team juga telah mencatatkan beberapa film internasional dalam portfolio mereka.  Sebut saja, film Mile 22 garapan sutradara Peter Berg (2018) yang dibintangi oleh Mark Wahlberg, John Malkovich, Lauren Cohan, Iko Uwais, dan Ronda Rousey.

Selain itu, ada pula serial laga Netflix Wu Assasins, serial televisi web aksi Amerika yang tayang perdana di Netflix pada Agustus 2019 lalu.

Untuk menggarap serial tersebut, Iko membawa enam orang dari Indonesia yang tergabung dalam Uwais Team untuk menangani film tersebut.

Keenam orang tersebut adalah Ferry, Yandi Sutisna, Herry, Ryan Santoso, dan Rama Suhadi yang juga menjadi stuntman.

Terakhir, Uwais Team juga baru saja menyelesaikan proyek film Stuber yang didistribusikan oleh 20th Century Fox bergenre laga.

Saat Iko main dalam produksi Stuber, misalnya, ia justru dipercaya sebagai koreografer adegan-adegan laga film yang dibintangi oleh aktor Dave Bautista.

"Saya dipercaya oleh produksi Hollywood. Saya dipercaya sebagai koreografi fighting. Mereka mau banget style dari saya yang pencak silat," kata Iko dalam wawancara beberapa waktu lalu.

Meski demikian, Iko tidak mematok pakem gerakan hanya kepada pencak silat. Ia bisa mengelaborasi berbagai gerakan seperti pencak silat, taekwondo, wushu, boxing, kungfu, dan lainnya.

"Pengalaman saya saat di Merantau dan Headshot, saya tidak pakemkan style seorang artis harus pakai pakem saya. Saya menyesuaikan (sesuai karakter). Jadi, enggak hanya pencak silat," kata Iko.

Bahkan, beberapa rumah produksi di industri Hollywood mulai berkiblat pada Indonesia. Mereka, kata Iko, banyak mencari sumber referensi adegan-adegan laga dari film Indonesia.

Iko berpendapat, bahwa tidak menutup kemungkinan para penata laga Indonesia juga akan berkiprah dalam industri film Hollywood.

"Wah, enggak menutup kemungkinan sih itu," kata Iko.

Sementara itu, pentingnya fungsi koreografi dalam film laga itu juga dimaknai sama oleh para aktor laga Indonesia. 

Joe Taslim yang telah bermain dalam banyak film laga, baik dalam dan luar negeri mengaku, bahwa peran koreografi beladiri dalam film laga sangatlah penting dan tak bisa terpisahkan.

Pukulan demi pukulan, kata Joe, mungkin tak akan terlihat memukau penonton bila tak didesain terlebih dahulu oleh para koreografer.

“Karena enggak ada film action yang tanpa koreografi. Ada pun, tapi enggak akan rapi. Pas on set akan berantakan. Karena setiap film action kalau di-plan dari awal, safety dari awal, kalau lokasi enggak di-cek dari awal, semua stunt coordinator dan koreografer yang bekerja sama memastikan untuk shooting, semua perkelahian dan adegan action itu aman,” ucapnya.

“Jadi hampir tidak mungkin kalau film action tidak ada koreografer yang baik,” ujarnya.

Menurut Cecep Arif Rahman, peran koreografer dalam film laga sangat membantu dalam banyak aspek.

Bahkan, kata Cecep, koreografi dapat membantu film laga mengekspresikan ceritanya dengan baik secara visual.

“Tentu itu menentukan yang akan menjadi menarik atau tidak menarik dalam sebuah film action. Kenapa? Walaupun ada cerita yang menjadi benang merah dalam script, tapi ada cerita sendiri dari beladirinya,” ucap Cecep.

“Ini tema beladiri mau ceritakan tentang apa? Seseorang yang jahatkah? Atau action komedi kah? Atau beladiri yang tidak terlalu sadis? Itu kan sesuatu bentuk dari koreografinya,” sambung Cecep.

Sebagai sebuah rangkaian gerakan yang memiliki pola dan ritme, maka sebuah koreografi harus memiliki acuan yang jelas dan kuat.

Acuan ini diperlukan agar proses pengembangan koreografi yang diperlukan bisa terealisasi dengan apik.

Setiap koreografer punya cara dan referensi yang berbeda, meskipun pada dasarnya tak jauh berbeda. Apa saja?

Joe Taslim mengatakan, bahwa acuan yang ia pegang pertama kali adalah skrip dalam film yang akan dibintanginya.

Dari situ, Joe bisa membuat dan mengembangkan berbagai gerakan, termasuk adegan perkelahian.

“Kalau script tentang pertarungan jalanan, karakter siapa, si A berkelahi dengan lima orang demi melindungi pacarnya. Terjadi di jalanan di lorong. Si A kemudian di script dengan mudahnya mengalahkan lawannya,” ucap Joe mencontohkan.

Oleh karena itu, Joe menegaskan bahwa koreografi adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari film laga.

“Jadi, koreografi masuk berdasarkan script. Koreografi itu masuk ke dalam film hanya memfasilitasi kebutuhan action-nya. Jadi memang enggak bisa dipisahkan,” ucapnya.

Selain mengikuti skrip, berdiskusi dengan sutradara adalah hal yang wajib dilakukan dan bisa menjadi salah satu acuan koreografer menjalankan tugasnya.

Biar bagaimanapun, kata Joe, gerakan yang ditampilkan film laga akan melalui persetujuan sang sutradara selaku dalang utama.

Sedangkan, Yayan Ruhian berpendapat bahwa acuan dirinya dalam proses membuat koreografi tak jauh berbeda ketika dirinya sedang melakoni gerakan beladiri.

Yang berbeda hanya improvisasinya ketika gerakan tersebut dipraktikan.

“Misalkan yang beladiri spesifik atau yang street fighting, saya pun tak akan bisa buat koreo dengan otak dan fisik saya sendiri, makanya saya akan koordinasi dengan teman-teman yang koreo fighting-nya diinginkan oleh film,” ungkap Yayan.

Sementara, menurut Cecep Arif Rahman, kekuatan acuannya dalam koreografi itu adalah referensi.

Bagi Cecep, referensi yang dimiliki oleh tim koreografi menentukan seberapa kaya gerakan beladiri yang akan ditampilkan.

Sehingga, kata Cecep, koreografi akan terlihat luwes dan tak terpaku dengan gerakan dari satu aliran beladiri saja.

“Kayak film Gundala ini lebih dominan di Taekwondo, jadi kami serahkan ke pelatih yang ahlinya. Tapi, dalam fighting-nya kami tetap kasih yang dari silat juga,” ucap Cecep mencontohkan.

Kerja Tim Koreografi

Selain berperan menyajikan gerakan yang ciamik dalam film laga, tugas lain koreografer adalah melatih dan mengajarkan para pemain film menirukan gerakan yang telah ditetapkan.

Keterampilan tim koreografi dalam film laga jelas sangat diperlukan. Apalagi, banyak film laga yang memberikan suatu peran kepada aktor yang minim bekal beladiri, karena alasan kebutuhan film tersebut.

Joe Taslim mengatakan, bahwa pada dasarnya akan lebih muda bagi tim koreografi untuk memberikan pengarahan pada aktor yang memiliki bekal beladiri meskipun hanya secuil.

Hal itu lantaran sang aktor setidaknya sudah tahu dasar-dasar gerakan dalam beladiri, selebihnya hanyalah improvisasi, entah yang dilakukan karena proses atau keperluan untuk mendramatisasi sebuah adegan.

“Karena akan melewati tahap-tahap pengenalan (gerakan), penguatan (karakter), karena si aktor juga ahli silat. Jadi hanya fokus di koreografi dan fokus pendramaan di dalam pertarungan. Tapi, kalau si artis enggak tahu apa-apa, simpel sih, dilatih dulu,” ucap Joe.

Hal itu tak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Cecep Arif Rahman, ia mengatakan bahwa seorang aktor akan melalui sebuah karantina untuk mematangkan kemampuan beladiri bila belum memilikinya.

Waktunya? Relatif! Cecep mengatakan, semuanya bergantung pada seberapa jauh kemampuan beladiri yang dimiliki oleh aktor tersebut.

“Kalau pemeran utama belum pernah belajar sama sekali, minimal harus enam bulan. Kalau sudah punya (bekal beladiri) tiga bulan sudah cukup,” ungkap Cecep.

“Kalau pemeran antagonisnya, misalnya, atau pemeran pembantu tiga bulan sudah cukup karena dari keseluruhan (adegan) film action-nya paling di bawah 50 persen,” sambungnya.

Selain itu, Joe mengatakan, bahwa waktu tersebut bisa saja bertambah lama, bergantung pada konsep film laga tersebut.

Bila film laga itu menampilkan tokoh utama yang memang seorang jagoan, maka perlu lebih banyak waktu untuk membangun semua koreografi beladiri, agar karakter tokoh itu juga bisa terbentuk sesuai ekspektasi.

 “Jadi, enggak bisa ditentukan berapa lama, tergantung filmnya. Kalau film Si Pitung dia harus jago, hebat, dan meyakinkan, malah lebih susah,” ucap Joe.

“Jadi kalau pertarungan si A dengan si B, pertarungan di bar. Pertarungan di bar enggak ada terbang-terbang. Koreografi sesuai dengan skrip. Tidak ada prediksi koreografi tiga bulan atau empat bulan. Satu minggu ya satu minggu,” jelas Joe.

Sedangkan, Yayan Ruhian mengaku akan menjalankan tugasnya sebagai koreografer sesuai dengan permintaan.

Dirinya hanya sedikit melakukan pengembangan yang bertujuan untuk menguatkan karakter gerakan beladiri dalam film itu sendiri.

“Saya rasa semua butuh pengembangan karena setiap beladiri punya karakteristik, tapi saya akan tampilkan sesuai dengan permintaan saja,

"Misalnya saja teknik memukul pada silat dengan karate saja itu beda, tapi bagaiamana yang saya antisipasi keduanya bisa terlihat bertenaga pukulannya dan terlihat jelas di kamera, jadi apapun jenisnya yang penting tetap terlihat berbobot gitu,” tutur Yayan.

Pencak silat adalah salah satu kemolekan budaya Indonesia yang sudah ada sejak lama. Tak hanya sebagai medium beladiri, pencak silat juga mengandung unsur seni bernilai tinggi.

Atas pergulatan para penggiatnya, keunikan yang dimiliki pencak silat kini semakin mendunia.

Tak hanya dikenal sebagai salah satu jenis beladiri, kiprah pencak silat kini juga telah membuat banyak film tergoda untuk menampilkan pencak silat sebagai acuan koreografi yang ada pada film tersebut.

Fenomena tersebut telah memberi keuntungan kepada banyak pihak, sebut saja orang yang berprofesi sebagai koreografer, penggiat pencak silat, dan nama pencak silat itu sendiri sebagai sebuah aliran beladiri.

Meskipun tak sepenuhnya koreografi film laga Indonesia menggunakan pencak silat, tapi nyatanya kini gerakan demi gerakan pencak silat semakin ramai menghiasi film laga Tanah Air.

Cecep Arif Rahman yang merupakan aktor laga, koreografer beladiri, serta penggiat pencak silat merasa hal tersebut merupakan momentum bagi pelaku seni beladiri, termasuk pencak silat di dalamnya.

“Tentu buat kami juga sebagai kebanggaan dan tantangan. Kenapa? Sebenarnya pencak silat dari dulu sudah mampu untuk diangkat seperti ini (ke dalam film). Tapi, kesempatan saat itu belum ada,” ucap Cecep.

“Nah, pada saat sekarang dengan lahirnya Iko Uwais, Yayan Ruhian, Joe Taslim juga dan kami dari (perguruan pencak silat) Panglipur,” sambungnya.

Momen emas itu juga dimanfaatkan oleh Cecep untuk mengangkat aliran pencak silat lainnya yang ada di Indonesia.

Dengan begitu, kata Cecep, pengetahuan khalayak luas akan seni beladiri asli Indonesia semakin luas pula.

“Namanya film Indonesia dan mengangkat silat itu tidak hanya satu perguruan, tapi nusantara. Kami coba angkat semua,  Kalau kita sudah punya dasar beladiri, dengan melihat pun tetap ada banyak input dan masukan agar dalam film menarik,” tuturnya.

"Walau keterbatasan, saya mencoba belajar dari berbagai aliran. Ada yang dari Sumatera, selain Jawa Barat, ada juga dari YouTube referensi juga," imbuhnya.

Berawal dari film Merantau (2009) garapan sutradara Gareth Evans, Yayan sukses mencuri perhatian dengan kemampuan pencak silatnya.

Kariernya sebagai penggiat pencak silat, koreografer hingga aktor laga pun turut melambung.

Yayan Ruhian mulai bisa memfasilitasi beberapa permintaan akan kebutuhan soal koreografi beladiri.

Kata Yayan, meski tim koreografinya belum sebesar nama Uwais Team, dirinya bisa membantu banyak penggiat beladiri terutama pencak silat untuk menampilkan kemampuannya dalam film.

“Ya tentunya tak sehebat Uwais Team pastinya, karena saya hanya memfasilitasi, karena saya tak punya tim yang besar, karena saya hanya memfasilitasi kemampuan teman-teman saya yang punya keterampilan beladiri,” ucap Yayan.

“Tentunya jikalau ada yang minta teman saya untuk sediakan koreografi fighting pasti saya akan tanya secara spesifik karakternya seperti apa, agar tahu teman saya yang seperti apa keterampilannya,” sambung Yayan.

https://entertainment.kompas.com/read/2019/08/19/110500310/kesuksesan-sebuah-film-action-tak-lepas-dari-peran-penata-laga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke