Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Coming Home with Leila Chudori: Mira Lesmana dan Budiman Sudjatmiko Berkata tentang Arief Budiman

Ketika Arief wafat sebulan silam, otomatis tiga generasi sekaligus, dari sahabat segenerasi seperti Goenawan Mohamad yang bersama-sama menandatangani Manifes Kebudayaan menulis sebuah obituari melalui Catatan Pinggir majalah Tempo, hingga yang lebih muda seperti Budiman Sudjatmiko atau produser Mira Lesmana.

Atau yang jauh lebih muda lagi, yakni generasi masa kini yang mengenalnya melalui buku-bukunya menceritakan pengalamannya masing-masing.

Podcast "Coming Home with Leila Chudori", Rabu (3/6/2020), sengaja memilih dua tokoh "muda"--karena mereka jauh lebih muda daripada Arief Budiman--yang semula lebih mengenal Arief Budiman sebagai intelektual, dosen Universitas Kristen Satyawacana.

Saya sendiri termasuk generasi yang sempat hanya mengenal sosoknya selintas pada diskusi-diskusi yang cukup kerap diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada 1980-an.

Seingat saya, perkenalan pertama saya dengan Arief terjadi pada 1986 di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki dalam sebuah acara diskusi yang ramai dan heboh.

Acara itu melibatkan begitu banyak tokoh, dari yang sepuh macam Sutan Takdir Alisyahbana--yang jengkel dengan penggunaan kata "pantau"--hingga Emha Ainun Nadjib mengejek DPR di masa itu yang tak banyak bergerak.

Karena pengunjung Teater Tertutup begitu luber, saya duduk di pinggir panggung karena kehabisan kursi.

Arief Budiman duduk bersama kami yang "muda-muda" dan tertawa kecil ketika saya menyampaikan bahwa saya memperoleh beberapa surat "nyasar" karena orang sering sekali tertukar-tukar antara saya dan Leila Ch Budiman, istri Arief.

Saya juga ingat pertanyaan saya padanya tentang sastra kontekstual yang menjadi perdebatan pada 1984.

Saat itu saya sedang jauh dari Indonesia dan ketika itu belum ada internet, sehingga saya belum memperoleh informasi lengkap tentang debat seru tersebut.

Debat banyak tokoh itu kelak dibukukan dan disunting oleh Ariel Heryanto dengan judul "Perdebatan Sastra Kontekstual".

Tetapi sentuhan berikut yang lebih penting bagi saya adalah ketika saya tengah meriset materi untuk novel "Pulang".

Saya ingat Pak Oemar Said menyebut artikel Arief Budiman di Kompas tentang restoran "Indonesia" di Paris membuat banyak orang Indonesia yang ke Paris berdatangan.

Saya kemudian menulis surat kepada Arief Budiman, yang saat itu sudah di Australia, bahwa saya akan menulis sebuah novel dengan latar belakang para eksil politik di Paris dan apa yang ditulis Arief di Kompas akan menjadi salah satu bagian dari perjalanan tokoh-tokoh saya.

Arief menjawab saya bebas menulis apa saja karena itu sudah menjadi milik publik.

Berbeda dengan perkenalan saya dengan Arief Budiman yang hanya selintas dan pertemuan di sana-sini jika kebetulan beliau di Jakarta, dua narasumber saya mengenalnya lebih dekat dan dalam.

Dalam podcast episode "In Memoriam Arief Budiman" ini, Anda bisa mendengar produser Mira Lesmana mewawancarai Arief Budiman beberapa kali karena dia dan Riri Riza sudah lama ingin mengangkat sosok Soe Hok Gie, adik Arief Budiman, ke layar lebar.

Sekali lagi, kepada Mira pun, Arief sangat membebaskan kedua sineas itu untuk menafsir kehidupan Gie yang kemudian diperankan oleh Nicholas Saputra itu.

"Bagi saya, baik tulisan maupun ucapan Pak Arief selalu clear, selalu jelas dan runut. Meski dia mencoba menjelaskan sesuatu yang rumit, dia bisa menyampaikannya dengan gamblang. Itu keistimewaan yang jarang dimiliki kalangan akademik lain," kata Mira.

Adapun Budiman Sudjatmiko mengaku mengenal Arief Budiman di saat dia masih duduk di SMA, melalui disertasi Arief yang di masa itu masih dalam bahasa Inggris.

Disertasi itu sedemikian populernya hingga difotokopi dan didistribusikan di kalangan aktivis. Disertasi yang kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan menjadi "Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende" (1986) itu secara rinci mengulas Chile di bawah pemerintah Allende dan bagaimana ia ditumbangkan dengan peran besar AS.

"Disertasi ini yang menjadi pelajaran bagi kami bagaimana Chile berupaya untuk menjadi sebuah negara yang demokratis, dan mengapa bisa gagal," demikian Budiman memberi analisisnya dalam podcast ini.

Bukan hanya sekadar membaca, tetapi kelompok mahasiswa di zamannya juga rajin berkunjung ke rumah Arief di Salatiga dan berdiskusi soal peristiwa politik yang saat itu tengah mencekam, termasuk peristiwa Kedungombo.

"Dia salah satu sosok yang penting untuk para aktivis di masa itu," kata Budiman.

Mira Lesmana juga menambahkan bahwa Arief tak hanya berjasa besar dalam pembuatan film Gie, tetapi juga untuk proyek besar Miles Film yang masih dalam taraf riset tentang Chairil Anwar.

Mereka juga menggunakan skripsi sarjana psikologi Universitas Indonesia milik Arief Budiman sebagai salah satu sumber pustaka. "Skripsinya itu sudah dibukukan berjudul Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Pustaka Jaya, 1976)," kata Mira.

Perbincangan dengan Budiman Sudjatmiko dan Mira Lesmana tentang Arief Budiman bisa Anda dengarkan mulai hari ini melalui Spotify di tautan ini.

https://entertainment.kompas.com/read/2020/06/03/070400310/coming-home-with-leila-chudori--mira-lesmana-dan-budiman-sudjatmiko

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke