Selama 80 tahun hidupnya, Sapardi bukan hanya seorang penyair yang produktif, tetapi ia juga melahirkan sejumlah penerjemahan karya asing, esai sastra, kumpulan cerita pendek dan novel.
Kepergiannya bulan Juli lalu seketika membuat keluarga, kawan, para pembacanya dirundung duka. Ini memperlihatkan Sapardi bukan saja salah seorang sastrawan terkemuka, tapi dia juga adalah seseorang yang lembut hati, yang disayangi dan dikenang selamanya.
Puisinya dirapal setiap bibir seperti k "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.." dan puisinya yang tak terlalu dikenal pun, seperti "Air Selokan": "Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir" adalah karya yang mengejutkan dengan kosa kata yang "tak lazim" tertera di dalam sajak-sajaknya.
Menurut sahabatnya, penyair Goenawan Mohamad di dalam Catatan Pinggir, majalah Tempo sebulan silam, puisi Sapardi menegaskan bahwa "pengalaman" adalah peng-alam-an: proses keterlibatan dengan "alam", dalam "alam"--akrab di tengah dunia yang hidup, tumbuh dan merapuh..."
Perihal pengalaman, peng-alam-an, melibatkan diri di dalam dunia yang hidup dan tumbuh itu memang wujud seorang Sapardi. Baik dalam kepenyairan, maupun dalam kehidupan, Sapardi memang dikenal seseorang yang selalu butuh untuk mengalami segalanya.
Ketika saya bertanya mengapa seorang penyair sebesar Sapardi masih merasa butuh untuk berekspresi dalam bentuk novel, jawabnya sederhana, tetapi tegas.
"Mengalami. Saya ingin mengalami proses membentuk novel," katanya.
Seperti halnya ketika saya bertanya mengapa tertarik menulis esei panjang tentang Slamet Rahardjo, ia mengatakan pengalamannya menyaksikan seni peran Slamet yang menggetarkan adalah sebuah perasaan yang begitu penting.
Episode khusus Coming Home with Leila Chudori bertajuk "In Memoriam Sapardi Djoko Damono" adalah sebuah episode perayaan kehidupannya, karena sesungguhnya Sapardi tak pernah pergi.
Puisinya adalah puisi kehidupan kita. Sihir kata-kata Sapardi akan terasa betul dari mereka yang membacanya. Kali ini kami hanya ingin menyajikan kekuatan puisi Sapardi. Tak ada diskusi, taka da bantah membantah.
Mereka yang ikut merayakan adalah kawan-kawan dari berbagai generasi: Reza Rahadian Dewi Lestari, Joko Pinurbo, Raka Ibrahim ,Laksmi Pamuntjak, Reda Gaudiamo, Rain Chudori dan Dian Sastrowardoyo. Semua ini akan diawali oleh suara Sapardi dan Sonya Sondakh yang membacakan "Perihal Gendis".
Dengarkan betapa asyiknya mendengarkan tafsir pembacaan para aktor seperti Reza Rahadian dan Dian Sastrowardoyo dan tafsir novelis Dee Lestari dan Laksmi Pamuntjak yang kemudian berbeda dengan penulis-penulis muda seperti Raka Ibrahim dan Rain Chudori.
Semua memiliki daya ucap yang unik dan kekuatan sihir masing-masing .
Jangan lupa, Reda Gaudiamo (bersama Ari dan AGS Arya Dipayana) yang juga ikut mengekalkan puisi Sapardi dalam bentuk lagu-lagu yang kemudian seolah mewakili para pembaca Sapardi berbagai generasi.
Salah satu pembaca puisi dalam episode ini adalah sahabat dekat Sapardi, penyair Joko Pinurbo.
Joko Pinurbo yang dua kali karyanya terpilih sebagai Buku Pilihan Tempo mengakui puisinya pertama kali dimuat di dalam sebuah jurnal sastra yang redaksinya adalah Sapardi.
Bagi Joko Pinurbo, Sapardi adalah sosok yang penting bagi kepenyairannya. Begitu pentingnya hingga Joko pernah menciptakan cerita pendek "Sebotol Hujan untuk Sapardi".
Joko Pinurbo akan membacakan dua puisi Sapardi yang sedikit berbeda dari puisi-puisi yang dikenal umum, berjudul "Air Selokan" dan "Tentang Seorang Penjaga Kuburan yang Mati".
Episode "In Memoriam Sapardi Djoko Damono" bisa Anda temui di Spotify.
https://entertainment.kompas.com/read/2020/08/19/114455410/in-memoriam-sapardi-djoko-damono-sihir-hujan-kata-kata