Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengakhiri Perundungan di Indonesia: Belajar dari Kasus Ji Soo dan Drama Beautiful World

Kasus lama itu baru-baru ini diungkap oleh korban di dalam forum daring. Ketika berada di bangku sekolah, Ji Soo disebut melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap siswa lain, seperti mengejek, mengumpat dan mengintimidasi.

Meskipun kebenaran dari laporan korban pada awalnya diragukan oleh sejumlah pihak, aktor berusia 27 tahun tersebut tidak menyangkalnya dan akhirnya meminta maaf secara terbuka di laman media sosialnya.

Keberanian pelaku mengakui kesalahan dan keberanian korban berbicara perlu dihargai, dan juga perlu diapresiasi keputusan rumah produksi River Where The Moon Rises mengganti Ji Soo dengan aktor baru, karena ini menunjukkan, masalah perundungan dipandang serius dan perasaan korban juga diperhatikan.

Kasus kekerasan di lingkungan sekolah juga terjadi di Indonesia, dan jumlahnya mungkin lebih besar dari laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena banyak siswa masih takut menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada guru dan orang tua.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang kongkret untuk memfasilitasi siswa melaporkan perundungan yang dialaminya tanpa rasa takut dan khawatir.

Beautiful World

Kasus Ji Soo mengingatkan saya kepada drama televisi berjudul Beautiful World yang dimainkan oleh dua bintang muda, yakni Nam Da-reum dan Seo Dong Hyun, dan tiga aktor kawakan Korea Selatan, yakni Choo Ja-hyun, Hie-sun Park, dan Oh Man-seok.

Beautiful World bercerita tentang siswa SMP bernama Park Sun Ho (diperankan oleh Nam Da-reum) yang terbaring koma di rumah sakit akibat mati otak setelah ditemukan terjatuh dari atap sekolah.

Orang tua Sun Ho (Choo Ja-hyun dan Hie-sun Park) berupaya mencari tahu penyebab jatuhnya Sun Ho, tetapi upaya ini dihalang-halangi oleh wakil kepala sekolah dengan dalih untuk menjaga nama baik sekolah.

Pihak sekolah yakin bahwa Sun Ho bunuh diri karena stres akibat nilai-nilainya yang buruk di kelas. Bagi orangtua Sun Ho, dugaan itu tidak masuk akal.

Mereka kemudian menuntut pihak kepolisian menyelidiki jatuhnya Sun Ho, tetapi penyelidikan tidak berlangsung lama karena kurangnya barang bukti.

Kedua orangtua Sun Ho lalu melakukan investigasi mandiri hingga akhirnya mereka menemukan rekaman video yang mengejutkan: Park Sun Ho dirundung di sekolah.

Dalam video itu, Sun Ho dipukul, ditendang, dan dibanting oleh teman-teman sekelasnya, termasuk sahabatnya, Oh Joon Seok (Seo Dong Hyun), anak dari pemilik sekolah, Oh Jin Pyo (Oh Man-seok).

Kedua orangtua Sun Ho merasa terpukul karena putranya tidak pernah menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada mereka.

Setelah menonton video itu, mereka menduga, Sun Ho terjatuh dari atap sekolah bukan karena bunuh diri, tetapi karena ulah siswa yang merundungnya.

Oleh karena itu, mereka menuntut sekolah memproses kasus perundungan Sun Ho dengan menginterogasi teman-temannya. Namun, tuntutan ini diprotes oleh orangtua siswa yang lain dan ditolak oleh wakil kepala sekolah.

Bagi orangtua Sun Ho, perundungan merupakan masalah serius, tetapi masalah sepele bagi orangtua dari siswa-siswa yang memukuli Sun Ho.

Bagi mereka, Sun Ho bukan korban perundungan. Ia tidak dirundung, tetapi sedang terlibat dalam perkelahian dengan teman-temannya, dan perkelahian antarremaja itu wajar sehingga tidak perlu dipersoalkan. Oleh karena itu, mereka melarang anak-anak mereka meminta maaf.

Demi memperjuangkan keadilan bagi putranya, kedua orangtua Park Sun Ho terus melakukan penyelidikan mandiri meskipun menghadapi tekanan dan protes dari orangtua dari siswa-siswa yang lain dan pejabat sekolah, termasuk pemilik sekolah, Oh Jin Pyo.

Jin Pyo berupaya melindungi putranya, Joon Seok, dari jeratan hukum karena ia pewaris tunggal dari perusahaan yang dipimpinnya.

Kedua orangtua Sun Ho kemudian menemukan fakta bahwa perundungan yang mereka sedang selidiki lebih buruk dari apa yang mereka duga sebelumnya, dan putra mereka ternyata bukan satu-satunya korban.

Perundungan di Indonesia

Beautiful World menyadarkan kita bahwa orangtua tidak boleh sepenuhnya percaya bahwa sekolah merupakan tempat yang aman bagi anak.

Dengan menonton Beautiful World, kita akan menjadi lebih waspada akan tiga hal, yakni buruknya sistem pengawasan sekolah sehingga guru atau wali kelas gagal mendeteksi praktik perundungan di lingkungan sekolah; lemahnya hubungan interpersonal antara murid dan guru sehingga murid takut melaporkan kasus perundungan kepada guru atau wali kelas; dan matinya nurani pejabat sekolah sehingga ia lebih memprioritaskan menjaga nama baik sekolah dari pada membela korban perundungan.

Beautiful World juga membuat kita lebih peka kepada korban perundungan.

Masalah perundungan, sayangnya, masih dianggap remeh oleh sejumlah guru dan orangtua sehingga keluhan dari siswa yang menjadi korban tidak digubris. Akibatnya, mereka lebih memilih memendam dari pada menceritakan kekerasan yang dialaminya.

Perundungan tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan verbal seperti ejekan terus menerus terhadap bentuk tubuh, penampilan, dan latar belakang ekonomi, suku, agama, dan ras.

Ejekan tidak hanya bisa menyebabkan korban tertekan dan depresi, tetapi juga berpotensi mendorong korban menutup diri dari lingkungan sekitar dan mengambil tindakan ekstrem, seperti mengakhiri hidup.

Pada tahun 2005, seorang siswi SD di Bekasi, Jawa Barat, bunuh diri akibat tertekan oleh ejekan terhadap keluarganya yang tidak mampu, dan kisah tragis ini terulang kembali pada tahun 2017 ketika seorang siswi SMA di Bangkinang, Riau, bunuh diri akibat tertekan oleh ejekan terhadap orang tuanya yang memiliki masalah psikis

Pada tahun lalu, seorang siswi SMK di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi dipaksa mencium kaki seorang siswa dari sekolah yang berbeda, dan seorang siswa SMP di Purworejo, Jawa Tengah, dihajar oleh kakak kelas dan teman sekelasnya hingga leher, pinggang, kaki, dan pinggangnya lebam.

Menurut laporan KPAI, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan fisik meningkat dari 157 pada 2019 menjadi 249 pada 2020. Sedangkan jumlah korban kekerasan psikis mencapai 119 pada 2020, meningkat drastis dari 32 pada tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan, KPAI mencatat, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak dari 2011 hingga 2019. Angka kasus perundungan, baik di dunia pendidikan maupun di media sosial, mencapai 2.473 laporan.

Menteri Pendidikan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sayangnya tidak pernah membuat kebijakan kongkret untuk mencegah perundungan terjadi lagi di lingkungan sekolah, dan hanya sekedar menyampaikan rasa prihatin dan memberikan imbauan ketika mereka mendapat laporan kasus baru.

Kementerian PPPA memang telah menyediakan nomor 08111129129 bagi masyarakat untuk melaporkan kasus pelanggaran hak anak, seperti kekerasan dan perkawinan anak. Walakin, itu saja tidak cukup.

Pemerintah perlu melakukan tiga hal. Pertama, pemerintah perlu memanfaatkan teknologi untuk membuat terobosan. Misalnya, menggandeng pakar-pakar IT di Indonesia untuk menciptakan aplikasi anti perundungan yang bisa membantu siswa melaporkan aksi kekerasan secara anonim.

Aplikasi ini penting karena saat ini banyak anak yang menjadi korban perundungan masih takut membuat laporan ke orang tua, guru, wali kelas, atau kepala sekolah.

Jika membuat aplikasi baru dirasa sulit, pemerintah bisa mewajibkan guru dan siswa menginstal aplikasi-aplikasi anti perundungan yang saat ini telah beredar, seperti Stop!t dan Speak UP!.

Kedua, pemerintah perlu meningkatkan kerja sama dengan komunitas muda seperti Sudah Dong yang aktif mengampanyekan gerakan anti perundungan melalui media sosial.

Sudah Dong yang memiliki hampir 4.000 pengikut di Instagram rutin membuat konten-konten kreatif, edukatif, dan inspiratif tentang dampak perundungan bagi korban dan pelaku dan aksi pencegahan yang dapat dilakukan oleh guru, orang tua, dan masyarakat.

Kementerian PPPA sebenarnya telah memiliki akun media sosial, tetapi akun ini tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk merespons laporan perundungan di Indonesia.

Ketiga, pemerintah perlu melarang sekolah mendisiplinkan siswa dengan hukuman yang mengandung unsur kekerasan, seperti menampar siswa, menyuruh mereka berdiri di kelas, dan memarahi mereka di depan teman-temannya. Segala bentuk kekerasan di sekolah harus disetop untuk memutus mata rantai perundungan di dunia pendidikan.

 

https://entertainment.kompas.com/read/2021/03/20/200451266/mengakhiri-perundungan-di-indonesia-belajar-dari-kasus-ji-soo-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke