Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menikmati K-Drama dan Memahami Diplomasi Budaya Korea Selatan

Cinta segitiga antara Kim Jo-jo, Hwang Sun-oh (Song Kang), dan Lee Hye-yeong (Jung Ga-ram) dalam Love Alarm 2 mengingatkan saya akan cinta segitiga antara Doel (Rano Karno), Sarah (Cornelia Agatha), dan Zaenab (Maudy Koesnaedy) dalam drama Si Doel Anak Sekolahan.

Jika seandainya memiliki aplikasi deteksi cinta Love Alarm, Doel mungkin akan memilih meninggalkan Zaenab demi mempertahankan pernikahannya dengan Sarah.

Tidak seperti Si Doel Anak Sekolahan, Love Alarm 2 mengajak kita menyaksikan kegigihan tokoh utama perempuan dalam meraih kemerdekaan ekonomi dan kesetaraan gender di tengah sistem yang patriarkal.

Meskipun masih dipandang sebelah mata oleh sejumlah pihak di Indonesia, K-Drama telah digunakan oleh pemerintah Korea Selatan sebagi instrumen diplomasi budaya selama lebih dari dua dasawarsa untuk memperluas pengaruhnya di Tanah Air dan mempererat hubungan persahabatan bilateralnya dengan Indonesia.

Sejarah K-Drama

Seperti Si Doel Anak Sekolahan, Love Alarm 2 juga membelah penonton menjadi dua kubu: pendukung Sun-oh dan pendukung Hye-yeong. Meskipun pilihan Kim Jo-jo mengecewakan salah satu kubu, drama produksi Netflix ini tetap disukai pecinta K-Drama di Indonesia di masa pagebluk Covid-19 ini.

Setelah pandemi Covid-19 muncul, jumlah penonton K-Drama di Indonesia dan jumlah durasi menonton K-Drama justru meningkat. Bagi sebagian masyarakat yang memiliki privilese bekerja dari rumah, K-Drama menjadi pilihan untuk mengusir kejenuhan dan memanfaatkan waktu luang.

Menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 16 Agustus 2020, sebanyak 91,1 persen dari 924 responden di 28 kota di Indonesia mengaku menonton K-drama selama pandemi, meningkat dari 87,8 persen sebelum masa pandemi.

Menurut survei LIPI, rata-rata waktu yang digunakan untuk menonton drama Korea juga meningkat dari 2,7 jam per hari sebelum pandemi menjadi 4,6 jam per hari semasa pandemi.

Di Indonesia, drama televisi Korea mulai menarik perhatian masyarakat pada tahun 2002 setelah stasiun TV menayangkan Autumn in My Heart yang dibintangi oleh Song Hye-kyo dan Winter Sonata yang dibintangi oleh Choi Ji-woo.

Untuk menjadi populer seperti saat ini, K-Drama menempuh perjalanan panjang sejak tahun 1962.

Backstreet of Seoul merupakan drama TV pertama di Korea Selatan. Pada saat itu, TV merupakan barang langka dan drama serial merupakan alat politik untuk membendung komunisme.

Perubahan mulai muncul pada era 1970-an: drama TV perlahan-lahan mulai menjadi acara hiburan keluarga seiring bertambah banyaknya keluarga yang memiliki TV.

Salah satu judul yang populer pada masa itu ialah Susa Banjang, yang bercerita tentang kemiskinan dan masalah-masalah yang mengitarinya, seperti penculikan, pembunuhan, dan penggunaan obat terlarang.

K-Drama terus berkembang dan selalu menawarkan tema-tema baru, mulai dari cerita tentang kisah asmara seperti Love and Ambition yang populer pada tahun 1980-an, hingga cerita tentang sejarah masa kolonial seperti Eyes of Dawn yang populer pada tahun 1990-an.

Menurut Suray Agung Nugroho, dosen Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), kesuksesan Jurassic Park, film karya Steven Spielberg pada tahun 1993, konon menginspirasi Presiden Kim Young-sam untuk menjadikan budaya sebagai sumber penghasian negara.

Jurassic Park hanya menghabiskan dana sebesar 63 juta dollar untuk proses produksinya, tetapi mampu mendatangkan pendapatan sebesar 914 juta dollar.

Presiden Kim Young-sam kemudian berinvestasi besar-besaran dalam dunia hiburan.

Upayanya membuahkan hasil. Drama What is Love? berhasil memikat 150 juta penonton di China pada 1997 dan menjadi drakor pertama yang sukses di luar negeri. Sejak saat itu, muncul istilah Gelombang Korea (Korean Wave) atau dalam bahasa Korea disebut Hallyu.

Pada era 2000-an, kemajuan teknologi dan pertumbuhan layanan video daring membuat K-Drama semakin mendunia dan popularitasnya semakin meroket di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Diplomasi Budaya Indonesia dan Korea

Di dalam bukunya, Identitas dan Kenikmatan, dosen Universitas Nasional Australia (ANU) Ariel Heryanto menjelaskan, drama TV dari Asia Timur tidak semata-mata mempromosikan gaya hidup tertentu, tetapi juga menggambarkan ketekunan dan kegigihan tokoh perempuan yang memimpikan kemerdekaan ekonomi dan kesetaraan gender.

Drama TV Asia Timur mengajak penonton mengikuti perjuangan yang panjang, rumit dan melelahkan dari tokoh perempuan yang bertekad memenangkan berbagai pertempuran kehidupan di tengah sistem masyarakat yang patriarkal.

Hal itulah yang mungkin membuat K-Drama disukai. Walakin, banyak orang mungkin belum tahu bahwa produk budaya Korea ikut membantu masyarakat Indonesia melewati masa-masa sulit.

Pada tahun 2004, misalnya, drama Something Happened in Bali ikut membantu memulihkan industri pariwisata Indonesia pascatragedi Bom Bali I dan II .

Drama yang dibintangi oleh Jo In-sung dan So Ji-sub itu berhasil memulihkan minat wisatawan mancanegara untuk kembali berkunjung ke pulau dewata.

Popularitas K-Drama dan K-Pop di Indonesia meningkatkan minat masyarakat Indonesia untuk mempelajari bahasa Korea. Penyanyi Rossa bahkan menyanyikan lagunya, Hati Yang Kau Sakiti, dalam bahasa Korea.

Sebaliknya, semakin banyak orang Korea yang juga belajar bahasa Indonesia dan kemudian mempelajari budaya Indonesia. Lee Jungpyo, profesor musik dari Institut Seni Seoul, misalnya, menyanyikan lagu Bengawan Solo milik Gesang dalam bahasa Korea dan menunggah video cover lagunya di YouTube pada tahun 2018.

Penyanyi Kim Ryewook, anggota grup Super Junior, juga belajar bahasa Indonesia dan baru-baru ini, menunjukkan kepiawaiannya dalam berbahasa Indonesia dengan menyanyikan lagu Terlanjur Mencinta milik Tiara Andini dalam bahasa Indonesia.

Semakin tingginya minat masyarakat Korea untuk belajar bahasa Indonesia dan semakin tingginya minat masyarakat Indonesia untuk belajar Korea mencerminkan persaudaraan yang kuat antara kedua negara karena orang tidak mungkin mau belajar bahasa jika tidak merasakan ikatan emosionalnya.

Berbagai festival kuliner yang diadakan di kedua negara dan berbagai kesamaan kebiasaan, seperti sama-sama makan nasi putih tiga kali sehari, juga berkontribusi dalam menghangatkan jalinan persaudaraan antara kedua bangsa.

Hubungan persahabatan yang erat tersebut menumbuhkan rasa saling percaya dan memperkuat hubungan ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, misalnya, Indonesia dan Korea membentuk koridor perjalanan bisnis esensial untuk memfasilitasi pebisnis di sektor esensial dari kedua negara untuk saling berkunjung dan melanjutkan berbagai proyek kerja sama investasi dan bisnis.

Korea Selatan merupakan negara pertama di Asia yang memiliki koridor perjalanan bisnis dengan Indonesia.

Apabila telah berhasil mengendalikan laju infeksi Covid-19 di Tanah Air, pemerintah Indonesia perlu mempercepat pembentukan gelembung pariwisata dengan Korea Selatan agar warga negara di kedua negara bisa saling mengunjungi dan kembali memahami budaya masing-masing.

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang melimpah, tetapi sayangnya, hanya batik yang sering digunakan dalam diplomasi budaya di luar negeri.

Pemerintah Indonesia perlu belajar dan meniru kesungguhan pemerintah Korea Selatan dalam mengembangkan drama dan film sebagai alat diplomasi budaya.

Presiden Joko Widodo tidak boleh setengah hati dalam mendukung pelaku industri kreatif agar Gelombang Indonesia (Indonesian Wave) bisa muncul dan drama dan film karya anak bangsa bisa mendunia seperti film Parasite karya Bong Joon-ho yang berhasil memenangkan Piala Oscar sebagai Film Terbaik pada 2019.

 

https://entertainment.kompas.com/read/2021/03/20/201757466/menikmati-k-drama-dan-memahami-diplomasi-budaya-korea-selatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke