Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rizal Iwan Membahas Novel Awi Chin dan "Queer Literature"

Juga tentang Mey yang bercita-cita sekolah tinggi arsitektur dan keluar dari kampungnya serta Bagas, putra kepala adat Dayak Mualang yang diuji keimanannya.

Awi Chin memulai debutnya dengan keyakinan dan keteguhan bahwa Indonesia adalah tanah yang meresap segala perbedaan: ras, suku, agama, kepercayaan dan orientasi seksual.

Novel "Yang Tak Kunjung Usai" (Commabooks, Kepustakaan Populer Gramedia, 2020) setebal 386 halaman ini dibahas oleh penulis dan aktor teater Rizal Iwan di dalam podcast Coming Home with Leila Chudori musim tayang keenam.

Di dalamnya kita bertemu dengan tokoh Bagas, putra Dayak yang terguncang oleh kedatangan Saul. Saul adalah anak Jakarta yang cerdas, angkuh dan dingin tetapi sepasang matanya hanya tertuju pada Bagas.

Lantas, datang tokoh Mey, remaja putri yang sama cerdasnya, satu kelas dengan kedua remaja lelaki itu yang ingin bersekolah tinggi dan keluar dari kampung kecil nan sunyi itu.

Namun, Saul adalah guncangan. Dia merobohkan kemapanan dan membangunkan kesadaran seksualitas Bagas. Saul juga mengguncang hidup Mey.

Dari sini, kisah bergulir yang menceritakan serangkaian pengalaman pahit ketiga anak remaja itu.

Dikisahkan dari tiga sudut pandang--meski sesekali Awi Chin memberi ruang pada tokoh minor lain, bahkan pada sebuah gaun kawin yag ikut-ikutan "bersuara"-—maka tak terhindarkan sesekali akan terjadi repetisi peristiwa, tetapi tetap menarik karena dikisahkan dari sudut pandang tokoh yang berbeda.

Penulis Rizal Iwan mengategorikan novel ini sebagai sebuah kisah coming of age, sekaligus LGBTQ, dua kombinasi genre yang jarang disentuh beberapa tahun belakangan di dunia penerbitan dan sinema Indonesia.

Coming of age (atau dikenal juga dengan istilah Jerman bildungsroman), sebuah genre yang secara sederhana mengisahkan kisah transformasi seorang tokoh remaja menuju pada kedewasaan jarang ditekuni penulis Indonesia.

Adapun kisah LGBTQ atau lebih populer dengan sebutan queer literature selama beberapa tahun terakhir "terdesak-desak" ke pinggir panggung.

Pada titik itulah Rizal Iwan menganggap "Yang Tak Kunjung Usai" adalah novel yang sangat menarik dan harus disambut kehadirannya.

"Di masa lalu, sekitar tahun 2000-an, fiksi yang menampilkan tokoh gay biasanya disambut dengan relaks, tak ada yang tegang. Penyajian penulis santai, dan pembaca juga santai," kata Rizal memberikan contoh, antara lain "Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh" (Dee Lestari, 2001).

Menurut Rizal, dia menganggap "Supernova itu sebuah gebrakan, karena Dee menggambarkan pasangan Dimas dan Ruben yang sebagai pasangan biasa. Penggambaran pasangan ini sangat aspiratif. Mereka defiant, bukan deviant."

Setelah itu, Rizal menganggap kumpulan cerpen "Rahasia Bulan", ed. Is Mujiarso (Gramedia Pustaka Utama, 2006) adalah gebrakan berikut, "karena banyak penulis-penulis di dalam kumpulan ini high profile yang menawarkan perspektif yang berbeda-beda tentang LGBTQ." Yang dimaksud high profile, maksud Rizal, hadirnya karya-karya antara lain Djenar Maesa Ayu, Linda Christanty, Clara Ng.

Rizal menunjuk sekitar tahun 2014-2015 di mana terjadi satu titik balik di dalam wacana LGBTQ di Indonesia hingga timbulnya hysteria anti LGBTQ.

"Ini juga memengaruhi dalam dunia penerbitan (dan juga sinema) yang 'dipaksa' patuh kepada arus konservatisme, sehingga kisah-kisah LGBTQ bergeser ke ranah online, wattpad dan penerbit indie," kata Rizal.

Rizal menunjuk contoh-contoh novel "Bukan Perjaka" dan "Anak Gembala yang tertidur Panjang di Akhir Zaman" yang bagus dan lahir dari penerbit alternatif.

Menurut Rizal, bahwa baru beberapa tahun terakhir Queer Literature mulai masuk lagi ke penerbitan besar seperti "Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi" karya Norman Erikson Pasaribu , yang kemudian disusul dengan karya Awi Chin ini.

Dalam novel "Yang Tak Kunjung Usai", Awi Chin tetap menunjukkan "persoalan" khas cinta gay dengan segala persoalan stigma, pagar adat dan agama, "dan saya menganggap itu tetap penting dikemukakan, karena the struggle is there..."

Tentu saja, seperti beberapa novel lain yang juga memasukkan penderitaan yang tak habis-habisnya, Awi Chin menghabiskan 386 halaman ini untuk rentetan penderitaan sekaligus gejolak batin ketiga tokoh muda itu, termasuk perasaan marah dan kotor sekaligus rasa cinta.

Akan tetapi, Awi memberikan sebuah akhir yang penuh harapan, yang tak selalu harus tragis dan kelam, seperti halnya beberapa karya queer literature yang kita kenal (salah satu contoh novel tragis yang dibahas dalam podcast ini "A Little Life" karya Hanya Yanagihara).

Selain itu, keistimewaan Awi, menurut Rizal, adalah kepandaannya menyusun tahap-tahap kehidupan Saul dan Bagas yang pada awal dan akhir akhirnya malah berubah posisi. Ini sebuah novel yang penting untuk dibaca, demikian Rizal Iwan menekankan.

Anda bisa mendengarkan obrolan panjang dan mendalam dengan Rizal Iwan di podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode pertama hari ini di Spotify.

https://entertainment.kompas.com/read/2021/04/07/070000166/rizal-iwan-membahas-novel-awi-chin-dan-queer-literature-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke