("Wali Berandal Tanah Jawa", George Quinn, 2021)
MEMBACA "Bandits Saints of Java" karya George Quinn seolah membawa kita kepada sebuah Indonesia yang berbeda. Tepatnya lorong-lorong magis yang dilalui orang Jawa yang penuh dengan cerita, mitos, legenda tentang para wali yang unik, nyeleneh.
Dalam podcast episode "In Conversation with George Quinn", ahli sastra dan kebudayaan Jawa George Quinn dari Australian National University di "Bandits Saints of Java" mengisahkan ketertarikannya pada budaya ziarah Jawa ini sudah dimulai sejak 1970-an.
Saat itu, Quinn adalah mahasiswa asal Selandia Baru yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada.
Sedemikian lama Quinn mendalami ini, karena menurutnya "latar belakang saya bukan antropologi, melainkan sastra dan kebudayaan Jawa", sehingga saat dia memutuskan untuk menjelajahi dan meneliti pertemuan kebudayaan Islam Timur Tengah, dengan keragaman kultur ziarah lokal.
Maka, "Bandits Saints of Java" yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul paradoksikal: "Wali Berandal Tanah Jawa" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021) ini bukanlah sebuah buku yang ditulis dengan gaya ilmiah yang penuh gagasan dan kutipan para pendahulunya.
Buku ini adalah sebuah penelusuran pribadi George Quinn ke puluhan makam para wali lengkap dengan cerita-cerita fantastis seputar para sosok wali.
Para pengunjung datang berbondong-bondong untuk berbagai permohonan: jodoh, naik pangkat, harta, perempuan. "Bahkan ada makam yang sering dikunjungi mereka yang bermasalah dengan hukum," demikian Quinn.
Tetapi yang lebih menarik lagi sebetulnya cerita-cerita unik tentang sosok para wali di masa hidupnya karena bukan saja mereka terdengar seperti superhero, tetapi juga karena informasi yang dikumpulkan bisa kontradiktif antara satu dan yang lain.
Salah satu contoh kisah yang didata Quinn, dan yang paling fenomenal, adalah Makam Mbah Jugo di Gunung Kawi. Menurut penelusuran Quinn, cerita mengenai Mbah Jugo cukup beragam.
Ada yang mengatakan Mbah Jugo keturunan Tionghoa, ada pula yang menyebut dia keturunan Arab. Yang jelas, seperti disampaikan Quinn, banyak sekali pengusaha terkemuka yang berziarah dengan rutin ke makam Mbah Jugo, antara lain Lim Sioe Liong.
Lain lagi kisah Ki Ageng Balak yang pusaranya terletak 20 km dari Solo dan juga mempunyai latar belakang yang penuh debat. Ada yang mengatakan Ki Ageng Balak hidup di era Majapahit, tapi ada pula yang mengatakan dia hidup di zaman Belanda.
George Quinn yang merasa sebagai "orang asing" yang tengah meneliti ini tak pernah mempersoalkan kontradiksi cerita-cerita ini dan menerimanya sebagai sebuah kekayaan.
Untuk lebih menyelami penelitiannya, di dalam acara ziarah itu Quinn mengaku ikut berpartisipasi dengan ritual apa pun yang dilakukan para pendatang. "Karena saya harus menghormati setiap ritual," katanya di dalam wawancara podcast ini.
Salah satu sikap Quinn yang menarik yang mengaku sekuler, sangat menghormati narasumbernya. Ini adalah sikap mendasar dan wajib bagi peneliti dan wartawan.
Meski buku Wali Berandal Tanah Jawa adalah hasil perjalanan personal dan riset George Quinn selama bertahun-tahun, namun secara implisit kita merasakan dan membaca perjalanan kepercayaan dan agama di dalam sejarah Nusantara dan bagaimana agama serta kepercayaan itu saling memengaruhi hingga kini.
Perbincangan yang santai dan asyik bersama George Quinn ini bisa Anda dengarkan di podcast "Coming Home with Leila Chudori" di Spotify.
https://entertainment.kompas.com/read/2021/04/28/070000366/george-quinn-bercerita-tentang-wali-berandal