Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Desain Puitik Glenn Hartanto di Republik Mauritius

Republik Mauritius, menurut majalah Financial Times diramalkan pada 2021 menjadi pintu gerbang penting para investor global di benua hitam. Republik yang secara politis stabil, dengan pendapatan per kapita tertinggi seantero Afrika ini bagian dari persemakmuran Inggris modern (sejak 1992).

Eksistensinya mengingatkan kita potensi luar biasa seperti perpaduan antara Bali dan Singapura sekaligus, yakni: pusat bisnis dan wisata alam menyatu.

Negara dengan pantai indah pun mistis dan salah satunya “berpelangi’, dalam artian sebenarnya, karena kualitas khusus pasirnya yang eksotis. Negara dengan jumlah wisatawannya lebih dari populasi 1.500.000 penduduknya saat ini sedang mengenalkan sebuah rancang bangunan ambisius sebagai pusat media global dan industri kreatif pertama kali di benua Afrika, yang dijuluki Media City Mauritius.

Bangunan itu lokasinya tepat di tengah-tengah Beau Plan Smart City, kompleks kota mandiri di Mauritius Utara, yang membawa nama perancang utama bangunan, yakni arsitek Indonesia Glenn Hartanto dan firmanya, MorphAsia.

Keelokan bangunan hadir tatkala desain pilihan arsitektural Glenn memberi impresi kembali ke pola dan gaya desain modernis awal, yakni meneguhkan bentuk simplisitas dan karakter alam yang kuat.

“Kesederhanaan rancang bangun modern yang berkarakter sebenarnya meniru pola-pola inti alam dan materinya. Desain keseluruhan bangunan membentuk geometri huruf V, dari amatan proyeksi mata burung (bird view). Rancangan Mediacity Mauritius menggambarkan interkoneksi atas atmosfer iklim, budaya, dan psiko-geografi,” Glenn memaparkan. 

“Saya lebih suka menyatakan sebagai pernyataan desain yang puitis,” ujarnya dalam wawancara dengan penulis.

Tentunya pernyataan Glenn tak sembarangan, menimbang ia membawa nama arsitek Indonesia yang dipertaruhkan dengan nama-nama desainer global yang kuat berasal dari lima puluh empat negara-negara di Afrika.

Sebut dua saja, misalkan starchitect spesialisasi bangunan kanonik Timur Tengah, kelahiran Afrika Selatan yang merancang Museum of Future (2015-2021), Dubai, yakni Shaun Killa. Yang lain, David Adjaye lahir di Tanzania dengan firma Adjaye Associates-nya membangun Smithsonian National Museum of African American History and Culture (2009).

Mauritius sebagai salah satu wakil negara di kontinen Afrika, dengan populasi benua terbesar kedua setelah benua Asia sedang membangun proyek raksasa Media City benar-benar menantang Glenn dan firma arsiteknya MophAsia mengeksplorasi kemampuan maksimalnya.

Sebagai arsitek, master-planner kompleks mandiri kota urban, mantan pengajar di sebuah universitas partikelir ternama di Jakarta dan juga kedekatannya dengan seni yang mengenal secara karib salah seorang “avant gardis” seniman kontemporer kita, FX Harsono, mengaku pada penulis tentang bagaimana visi sejatinya di Mauritius serta kepekaan lokal desain tropis dari Indonesia.

Karakter Pohon, Iklim Tropis dan Taman Botani

Glenn mengaku tantangan pertama datang dari mitra teknisnya, yaitu broadcaster besar Broadcast Center Europe (BCE) yang memiliki jaringan raksasa media global di Eropa dan pengembang penting di Mauritius, Nova Terra.

Selain tentu saja, founder sekaligus General Manager Mediacity Mauritius, N Gouiaa, sebagai mitra diskusinya paling setia.

Glenn menyampaikan pada para mitranya, berkali-kali bahwa desain utama layak merujuk filosofi fundamen desain tentang relasi manusia, alam dan konsep modernisme yang simpel. Tak perlu membangun bentuk-bentuk kanonik raksasa, mempesona optis tapi nihil kedekatan pada lingkungan.

Ia menyebut bahwa karakter pohon adalah paling tepat untuk Mauritius. Menimbang bahwa iklim tropis yang hangat dengan angin siklon berkecepatan 160 km perjam di Mauritous, layak sebagai pertimbangan teknis pertama untuk membangun desain.

Maka, bentuk desain menimbang tantangan alam ini secara detil dalam perspektif materi, termasuk merancang struktur dengan kemiringan derajat keseluruhan bangunan. Seperti pohon, rancangan bangunan semestinya tegak berdiri menyetubuhi alam.

Pohon sebagai saripati kehidupan dari banyak sistem kepercayaan dan kultur di Asia dan Afrika akan membawa akar desain membumi, sebagai narasi bertumbuh dewasa dari tanah, dari bumi lokal.

Mauritius mengakrabi hampir seluruh kultur di bumi, seperti Asia dengan perayaan tahunan Imlek, etnis Tionghoa dengan jumlah signifikan ada di sana. Selain itu, Mauritius juga memiliki penganut Hindu terbanyak dari luar India serta umat Muslim populasinya lumayan jumlahnya.

Sementara peradaban Barat dengan umat Kristiani tersebab masa lalu era kedatangan Belanda, Inggris dan Perancis serta akulturasinya dengan kultur Creole Afrika dan suku-suku asli menampak kuat di sana.

Kembali ke pohon, sebagai pokok pangkal desain; bentuk visual berupa geometri huruf V adalah proses stilisasi imej pohon yang beritikad memberi bagian visualisasi runcing—sebagian bangunan-- yang mengarah pada lokasi Taman Botani besar di kompleks Beau Plan kota mandiri itu.

Pertimbangan berikutnya, rancang desain akhirnya mengerucut pada pembuatan courtyard dan segera “taman botani mini” seolah dipindahkan pada pusat bangunan Mediacity Mauritius, tepat di tengah-tengah sebagai semacam “pusat semesta” bangunan dengan atmosfir hijau pepohonan.

Pohon dan Taman Botani itu mengingatkan akan konsep keberlanjutan dalam desain arsitektural yang segera menerbangkan benak pada kemajemukan hutan dan pohon pun zat ekstraktifnya di Indonesia, yakni karet.

“Karet saya pilih sebagai simbol keberlanjutan, sebab usai disadap, selain benih pohon yang ditanam ulang, maka batang-tubuhnya tentu telah menjadi sampah. Prinsip keberlanjutan kemudian muncul, dan saya akan bawa materi khusus pohon karet yang telah tersadap getahnya ini dari Indonesia ke Afrika," kata Glenn.

Sebab selain secara artistik warnamya yang pucat, karet juga simbol iklim tropikal yang keberlanjutan dengan alam yang wajib dijaga. Sisi komoditas pada karet yang bermanfaat bagi manusia menjadi pertimbangan lain,” ujar Glenn menambahkan.

Arsitek berusia 42 tahun ini juga yakin bahwa pohon karet adalah yang membawa kepekaan cita rasa lokal Indonesia yang kuat di negara Mauritius.

Refleksi Puitik, Kaca, dan Louis Kahn

Dalam wawancara yang intim dan terbuka, Glenn mengaku terus terang bahwa ide dasar desain-desainnya selalu terinsprasi oleh mentor imajinatifnya, yakni Louis Isadore Kahn.

Sebagai alumni Universitas di Philadelphia, AS, yang mana Kahn pernah mengajar, Glenn terpikat pada kritikus dan arsitek sekaligus seorang profesor di departemen arsitektur di the School of Design at the University of Pennsylvania yang memberinya ide tak habis-habisnya tentang desain modern.

“Kahn memang memberi pendekatan sebuah gaya yang tak hanya monumental dan monolitik, bak sebuah karya seni patung. Namun, ia memberi penekanan bagaimana sebuah bangunan menimbang materi, beratnya, konstruksi detil dan mengaitkannya secara elok dari sisi seni, seperti kita menikmati sebentuk puisi bangunan” sergah Glenn.

Ia mencontohkan bagaimana desainer abad 20, dengan selera seperti Kahn ini lewat pendekatan minimalisnya menjadi legenda arsitek Amerika. Pendekatan gaya Kahn punya kecenderungan diulang kembali di abad ke-21 ini.

Sebab, menurut Glen, hari ini kita menyaksikan banyak bentuk-bentuk khaotik visual dan terputus pada kultur utama pada alam, yakni: keseimbangan, kesetaraan dan harmoni.

Arsitektur Asia, terutama Jepang sangat intim dengan pendekatan harmoni ini, seperti Tadao Ando yang mengekspose materi dan kesederhanaan bentuk yang cenderung monolitik.

“Misalnya Jatiya Sangsad Bhaban adalah kompleks gedung parlemen yang mungkin terbesar di dunia, di Pakistan dan sering disebut salah satu ikon arsitektur abad ke-20. Kahn mengekspose materi beton, selain bentuk sederhana dan esensial pola seperti kubus, silinder dan geometri dasar," kata Glenn.

"Hal yang paling menarik ini: puitisasi dengan penggunaan reflektor air sebagai semacam pantulan alamiah, cahaya dan bangunan yang menyatu. Saya bawa ide ini dalam reflektor tentang desain khusus kaca-kaca di Mauritius,” ungkap Glenn bersemangat.

Refleksi puitik dalam desain Mediacity Mauritius, menurut Glenn adalah penggunaan sekaligus teknologi dan dasar desain praktis – panel tiga lapis kaca sebagai reflektor: penahan panas, meredam cahaya berlebihan dan secara estetis menciptakan pantulan-pantulan bayang-bayang balik ke ruang utama semesta desain utama di tengah: pohon dan courtyard dari tranformasi “taman botani mini” ke inti bangunan.

“Saya membayangkan bahwa esensi desain menyerupai pendekatan rancangan model kampus yang terhubung satu dan lain bangunan. Seperti ruang-ruang perkantoran, area bisnis, perpustakaaan, teater terbuka, laboratorium, kafetaria, ruang-ruang broad casting dan digital creative; selain kelak dalam bangunan juga ada sebuah universitas riil dengan ruang ajang-mengajar,” katanya.

Tatkala ditanya, apa yang menjadi substansi keterhubungan manusia yang alami di rancang bangunan Mediacity Mauritius, Glenn menjawab singkat: ruang adalah inti, jika nyawa bangunan itu sebenarnya adalah ruang penghantar kehadiran manusia dengan alam yang saling menyapa.

Bisa jadi, Glenn mengamini prinsip dasar gerakan seni minimalis lebih dari seabad lampau di Barat dan diyakini dalam filosofis Timur kuno tentang Zen dalam tataran lain, tentang semesta diri: kesederhanaan adalah momen mendekap kekinian dengan alam. 

https://entertainment.kompas.com/read/2021/06/01/113031510/desain-puitik-glenn-hartanto-di-republik-mauritius

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke