Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Parasit Bernama Para Pembajak Buku

Buku-buku yang super murah itu hampir pasti adalah buku bajakan.

Apa bedanya buku bajakan dengan buku asli yang diterbitkan dari penerbit resmi?

Dari sisi penampilan buku bajakan sudah pasti jauh lebih buruk: isi sering merupakan hasil fotokopi dengan sampul wajah yang juga merupakan fotokopi berwarna; atau hasil cetak yang mutunya jauh lebih rendah daripada buku asli.

Buku bajakan jelas adalah sebuah produk hasil pencurian karena buku itu diproduksi kembali oleh pihak pembajak tanpa izin.

Para pembajak ini mampu mengambil keuntungan besar--besarnya tanpa mengeluarkan ongkos besar, persis tanaman parasit yang menemplok di pohon besar dan menghirup segala yang ada di dalam pohon itu.

Pada dasarnya, para pembajak buku mengambil hak ekonomi para penulis, penerbit, editor, ilustrator dan mereka yang bekerja untuk menghasilkan buku tersebut.

Di marketplace mereka menyebutnya dengan istilah-istilah euphemisme: KW, repro, copy original, "buku berkualitas harga terjangkau", non-ori. Pendeknya: istilah-istilah yang membuat pembelinya tak terlalu merasa berdosa.

Kali ini podcast "Coming Home with Leila Chudori" musim tayang ke 7 mengundang Wandi Brata , Direktur grup penerbitan Gramedia dan Haidar Bagir, Direktur Utama Mizan Grup, untuk membahas persoalan yang sudah bak kanker yang menggerogoti kehidupan industri buku di Indonesia.

Kedua narasumber dalam acara ini terdengar antara jengkel, marah sekaligus –menggunakan bahasa Haidar Bagir tak henti "mengelus dada" menyaksikan bagaimana industri pembajakan buku Indonesia sudah menjadi industri jauh lebih besar dan beruntung hingga triliunan rupiah.

Para pembajak, menurut Wandi Brata, "Hanya ingin duit. Jadi yang mereka lakukan hanya membuat daftar judul buku yang laku keras dari berbagai penerbit. Mereka tidak membayar ongkos apapun, tak bayar royalti, tak bayar pajak, tak harus mengeluarkan ongkos apa pun kecuali kertas saja. Jadi jangan heran kalau mereka jauh lebih kaya raya daripada penerbit dan penulisnya."

Menurut Wandi dan Haidar , Indonesia sudah mempunyai payung hukum yang sebetulnya cukup bisa melindungi hak para penulis.

Jika kita membuka setiap buku yang kita beli, pasti UU Hak Cipta disebutkan pada halaman awal buku.

Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta menyebutkan, setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan.

Hukuman bagi pelanggar hak cipta juga tidak main-main, yaitu penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar.

Di mana letak masalahnya sehingga industri pembajakan buku sangat subur dan sulit ditekan?

Menurut Wandi Brata, salah satu problemnya adalah soal pembajakan itu adalah delik aduan, sehingga jika ada yang merasa dirugikan dan mengadu ke polisi, barulah kemudian diproses.

Idealnya jika memang peduli dengan persoalan pembajakan, maka kita memang harus mengupayakan delik aduan ini bisa berubah menjadi pidana.

Untuk melakukannya, menurut Haidar Bagir, prosesnya panjang dan bakal memakan waktu yang lama.

Problem lain adalah kesadaran masyarakat. Menurut Wandi Brata, surat edaran yang dikeluarkan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2016 memisahkan tanggung jawab marketplace dan pelapak.

Artinya, para pemilik marketplace dilepaskan dari tanggungjawab terhadap barang-barang yang dijual pelapak (termasuk jika benda itu adalah barang bajakan).

"Itu kan seperti sebuah supermarket online, seharusnya pemilik marketplace juga harus bertanggung jawab atas legalitas apapun yang dijual para pelapak," kata Wandi.

Tentu saja diakui, bahwa sesekali pihak yang berwajib pernah menangkap pembajak buku di Jawa Tengah yang, setelah diperiksa, sudah luar biasa hidup makmur dari bisnis buku bajakan itu.

Namun, masih banyak parasit lain yang asyik berjualan dengan menempel pada produk orang lain dan hidup sentosa tanpa gangguan siapa pun.

Penulis, ilustrator, komikus dan penerbit, selain marah dan jengkel, hanya bisa merasa putus asa karena pemerintah lebih sibuk dengan persoalan yang dianggap "lebih besar".

Bagaimana dengan masyarakat penggemar buku? Mengapa mereka tetap lebih suka membeli buku bajakan? Ada yang beralasan karena buku sangat mahal (sembari memegang ponsel seharga Rp 16 juta).

Alasan lain adalah mereka terjebak dengan bahasa euphemisme seperti kata "repro", copy original, dan seterusnya yang sangat menyesatkan dan membuat calon pembeli tak merasa ikut menjadi bagian dari lingkaran itu.

Salah seorang penulis mengatakan bahwa mereka yang membeli buku bajakan, sadar atau tak sadar, sudah ikut mencuri hak hidup dan hak ekonomi penulisnya.

Dengan persoalan sebesar ini--yang menurut Haidar Bagir sudah berlangsung puluhan tahun meski presidennya sudah berganti-ganti--akan sangat lama mengharapkan Indonesia menjadi negara yang mempunyai kemampuan literasi yang tinggi.

Kemampuan literasi tinggi bukan sekadar kemampuan membaca, menulis, tetapi juga moral dalam menghargai ciptaan apa yang dibacanya itu.

Bagaimanapun, Wandi Brata menambahkan bahwa dia tak ingin berputus asa dulu karena beberapa waktu lalu, Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengadakan pertemuan persoalan pembajakan buku.

Salah satu yang dibahas adalah dengan berdirinya satgas penanggulangan pembajakan di marketplace.

"Kita nantikan dengan seksama kiprah satgas ini," demikian Wandi Brata.

Pembahasan seru soal Anti Buku Bajakan ini bisa Anda dengarkan Rabu 29 September 2021 di Spotify dan platform lain. Atau, bisa juga dengan memutarnya pada bagian di bawah ini.

https://entertainment.kompas.com/read/2021/09/29/110300966/parasit-bernama-para-pembajak-buku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke