Produksi seni tersebut merupakan hasil kolaborasi lintas budaya yang melibatkan seniman dari Indonesia dan Afrika Selatan, dengan dukungan penuh dari Konstelasi Artistik Indonesia dan Kementerian Kebudayaan RI.
Castle of Good Hope—benteng peninggalan kolonial Belanda yang memiliki kesamaan bentuk dengan Benteng Fort Rotterdam di Makassar—menjadi tempat yang sarat makna untuk menggambarkan keterikatan sejarah antara Nusantara dan Afrika Selatan.
Dengan tema utama resiliensi manusia dalam menghadapi kekejaman kolonialisme, Kabata Tanrasula menyuarakan kekuatan sejarah dan kebudayaan sebagai fondasi perjuangan.
Nama Kabata Tanrasula berasal dari gabungan bahasa Maluku Utara (Kabata, berarti syair) dan Makassar (Tanrasula, berarti kemuliaan manusia).
Karya tersebut merupakan puncak dari proyek seni Seeking Tuan Guru, yakni inisiatif yang dirancang dalam tiga fase sejak akhir 2021. Proyek ini mencakup riset dan residensi di Cape Town pada Februari 2023, inkubasi produksi di Makassar pada Desember 2024, hingga presentasi akhir di Cape Town pada November 2024.
Dengan durasi 45 menit, Kabata Tanrasula memadukan musik tradisional Nusantara, seni tutur, gerak, tata cahaya, dan visual animasi.
Cerita yang diangkat berkisah tentang perjalanan dua tokoh penting, Syekh Yusuf Al-Makassari dan Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam atau Tuan Guru, yang diasingkan oleh kolonial Belanda ke Afrika Selatan. Perjuangan mereka melawan penjajahan dihidupkan kembali melalui pertunjukan yang menyentuh emosi penonton.
Pertunjukan dimulai dengan adegan simbolis, di mana para musisi memasuki panggung membawa batu yang diikat tali putih melambangkan beban sejarah yang masih dirasakan hingga kini. Bunyi dentuman batu yang membentur lantai kayu menggema di seluruh ruangan, menciptakan suasana penuh makna.
Cerita kemudian mengalir ke kelahiran Syekh Yusuf di Gowa pada 3 Juli 1626, diikuti kisah kelahiran Syekh Imam Abdullah di Tidore. Kedua tokoh ini menjadi simbol perlawanan di dua benua, Syekh Yusuf memimpin gerakan melawan Belanda di Nusantara, sementara Tuan Guru membangun komunitas Muslim pertama di Cape Town, mempertahankan identitas budaya dan agama dari upaya penghapusan oleh penjajah.
Melalui seni tutur yang menggunakan instrumen tradisional seperti Sinrilik dan Arababu, serta pencahayaan yang dramatis oleh Mamedz, atmosfer mistis dan emosional berhasil tercipta.
Penonton diajak merenungkan perlawanan fisik dan spiritual kedua tokoh, yang meski dipisahkan jarak dan waktu, memiliki semangat perjuangan yang sama.
Kolaborasi lintas budaya
Produksi Kabata Tanrasula melibatkan berbagai seniman Nusantara, termasuk lima komposer. Mereka adalah Aristofani dari Makassar, Maskur Daeng Ngesa dari Gowa, Atadengkofia dari Ternate, Lawe Samagaha dari Bogor, dan Anggara Satria dari Riau.
Selain itu, ada Agus Eko Triyono sebagai videographer, serta seniman pendukung lainnya, Sutradara Ancoe Amar, penata cahaya Mamedz, dan pengembang artistik Isa Faizal turut memastikan karya ini mencapai kualitas optimal.
Kehadiran tokoh seperti Yazeed Kamaldien sebagai perwakilan pengelola Castle of Good Hope dan Kepala Pensosbud Konsulat Jenderal RI di Cape Town Daddy Yuliansyah, dalam acara tersebut menegaskan pentingnya kolaborasi budaya.
“Kegiatan ini mengingatkan bahwa perjuangan untuk kebebasan, seperti yang kini sudah didapatkan Indonesia dan Afrika Selatan niscaya dapat dirasakan negara lain,s eperti Palestina,” ujar Yazeed dalam rilis yang diterima Kompas.com, Senin (16/12/2024).
Manajer Produksi Kabata Tanrasula, Helza Amelia, menjelaskan bahwa karya tersebut bukan hanya pertunjukan seni, tetapi juga medium refleksi sejarah dan budaya.
“Produksi ini adalah gerbang pembuka dari dialog lintas budaya yang telah kami bangun sejak awal,” ungkapnya.
Dengan mengangkat perjuangan dua tokoh besar ini, Kabata Tanrasula menjadi simbol bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah bagian dari sejarah kolektif yang harus terus dirawat.
https://entertainment.kompas.com/read/2024/12/16/200038066/kolaborasi-seni-nusantara-afrika-selatan-kabata-tanrasula-refleksi