Suara seronai menjerit-jerit dari sebuah rumah tua yag di halamannya didirikan sarapo (panggung) untuk menerima tetamu. Seronai, gendang, gong, bonang, secara berbarengan membahana guna membuka upacara nyalamak di lau’ (selamatan laut) orang-orang suku Bajo yang tinggal di Tanjung Luar, Lombok Timur di pertengahan Juli 2007 lalu.
Jeritan seronai (di tempat lain disebut serunai, terompet yang bunyinya melengking) yang terus menerus dengan tempo gong serta gendang yang monoton, mengingatkan saya pada hampir semua bunyi musik tradisi dari seluruh daerah di negeri ini.
Inilah kiranya memori bunyi purba kita. Bunyi monoton dengan ketukan 2/4 yang mengajak jantung kita berdegup lebih cepat. Bunyi yang menghanyutkan perasaan kita pada cakrawala yang lain.
Entah lantaran bunyi-bunyian yang bertalu-talu itu, atau entah karena kurang sempurnanya sesaji, tak lama kemudian muncul perempuan muda yang kesurupan (kedongkoan). Ia menari-nari mengikuti irama musik sambil sesekali tersenyum.
Tak lama kemudian, naik pula perempuan muda lainnya yang juga kesurupan. Jika pada perempuan pertama senantiasa mengekspresikan kegembiraan, perempuan muda kedua yang kesurupan ini tampak sedang berduka. Di antara gerak tarinya, ia kadang menyanyikan lagu-lagu yang sedih.
Menurut Daeng Abas yang bertindak sebagai salah satu sandro (dukun), ekspresi gadis-gadis yang kesurupan itu memang tergantung pada roh yang masuk. Bisa gembira, sedih, marah, atau bisa juga diam membisu. "Tergantung roh siapa yang memasukinya," ujar Abas.
Pada sore itu, penduduk Tanjung Luar yang mayoritas keturunan suku Bajo terlihat berkumpul di sekitar panggung untuk menyaksikan rangkaian ritual nyalamak di laut yang konon berbeaya sekitar Rp35 juta.
Riwayat nyalamak
Syahdan, pada awalnya yang melaksanakan upacara nyalamak di laut adalah Suku Mandar, namun pada perkembangannya kemudian diambil alih oleh orang Bajo, demikian dituturkan sandro Daeng Abas.
Abas menambahkan, kini upacara itu justru dilaksanakan oleh empat suku; Bugis, Makassar, Mandar dan Bajo.
Abas bercerita, dulu di Mandar, tepatnya di Balanipah, dilanda penyakit. Lalu Datuk Mandar Marakdia Mak Danuang mendapat ilham. Isinya, jika ingin wabah itu pergi, maka harus melaksanakan selamatan laut dengan memakai korban kepala kerbau.