Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uyung Pun Menangis di Panggung

Kompas.com - 04/07/2008, 02:34 WIB

Puncaknya layar utama terbuka, lalu muncullah seluruh pendukung acara. Empat vokalis (dua perempuan dan dua laki-laki) membawakan lagu Masquerade. Para penyanyi itu menunjukan kekompakannya saat tiba di chorus dengan pembagian suara yang bagus:
Masquerade! Paper faces on parade . . .
Masquerade! Hide your face, so the world will never find you!
Masquerade! Every face a different shade . . .

Jika mau jujur, hingga paroh konser saya belum mendapatkan "tendangan" dari aransemen yang mereka sajikan. Saya pun kemudian menduga-duga, boleh jadi Uyung belum selesai dalam konsep pemanggungan kali ini, baik dari sisi musik maupun tampilan penyanyinya. Betapapun Uyung menyertakan instrumen tradisi, toh ia masih menjadi sub-ordinat dari instrumen modern. Pun begitu dengan penampilan ke-empat vokalisnya.

Saat musik berirama jaipong terdengar, saya membayangkan para vokalis itu sigrak mengikuti suara kendang sunda. Tapi ini tak terjadi. Ekspresi vokalisnya datar-datar saja. Entahlah apa sebabnya, rasanya saya tak mendapatkan klimaks. Boleh jadi ini urusan
harmoni antar instrumen yang kurang prima. Uyung barangkali lalai menengarai kapan saatnya memberikan kedalaman, kapan saatnya memberi suasana cair, dan kapan saatnya istirah dalam diam.

Saya baru mendapat klimaks justru ketika sampai pada lagu Primadona. Lima musisi maju ke bibir panggung memainkan komposisi rampak kendi dalam irama 3/4. Penonton tak cuma diberi sajian kekompakan permainan kendi yang dijadikan kendang, tapi juga pemandangan indah yang berasal dari sinar lampu yang dipancarkan dari dalam kendi yang mengenai wajah para pemukulnya. Hmm, indah sekali. Komposisi ini memang terasa lebih matang karena telah beberapa kali dibawakan oleh Mahagenta di beberapa panggung.

Yang menarik lainnya adalah saat beberapa penari topeng muncul di panggung. Komposisi ini terasa mendukung penampilan para penari yang juga tampil prima.

Pada pertunjukan kali ini, penampilan Mahagenta memang belum sempurna. Mafhumlah, untuk mengangkat karya opera semacam The Phantom dibutuhkan tak hanya urusan teknik bermusik. Dramaturgi yang rasanya belum tergarap secara sempurna, adalah faktor yang tak boleh diabaikan jika Mahagenta hendak menggelar konser ini kembali.

The Point of No Return, Down Once More, Think of Me, All I Ask of You, The Music of the Night, Angel of Music, dan Wishing You Were Somehow Here Again adalah di antara lagu-lagu dari opera Phantom yang dibawakan oleh Mahagenta pada Kamis malam itu.

Kegigihan Mahagenta untuk setia selalu pada pilihannya mengolah musik tradisi menjadi sebuah pertunjukan yang mampu beradaptasi dengan kekinian, adalah aura yang mengalahkan kekurangan-kekurangan pada penampilan mereka. Selamat Uyung, selamat Mahagenta.

Tentang Mahagenta

Mahagenta dibentuk pada 11 November 1996. Berawal dari keinginan untuk berkreasi pada dunia seni musik dan menyemarakkan warna musik Tanah Air.

Kelompok Mahagenta merupakan salah satu kelompok kesenian yang melengkapi dunia pertunjukan di Indonesia. Dengan semangat pembaruan dalam bereksplorasi, kelompok Mahagenta berusaha membangun sebuah sinergi yang berkesinambungan dengan esensi musik tradisi lainnya. Komunikasi yang dibangun kepada masyarakat membutuhkan sebuah konsistensi dari perpaduan unsur budaya yang terpenggal agar semakin kayanya seni pertunjukan Indonesia.

Mahagenta menggali apa yang ada pada musik tradisi dengan keragaman, rhytme, laras maya dan hal ini sudah diuji melalui waktu (usia), mutu, konsep dan aturan. Kemasan hanya sebuah alat agar apa yang di dalamnya tidak tercerai berai seperti gado-gado yang di bungkus sehelai daun pisang, Mahagenta adalah daun pisang itu hingga kemana pun anda bawa kemasannya masih bisa dinikmati dengan cita rasa khas Indonesia.

Sinergi yang dibangun akan membentuk sebuah pohon yang buahnya akan dipetik kelak oleh generasi penerus kesenian di tanah air. Meskipun saat ini seni pertunjukan sudah dapat dinikmati dari hasil proses generasi sebelumnya, tetap saja semangat pembaruan harus terus dikembangkan dengan cermat. Dengan demikian seni pertunjukan di Indonesia akan menjadi kebanggaan di manapun kita berada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com