Oleh : Ilenk_rembulan
Dengan cover yang menawan, sudah bisa ditebak, aroma puisi seperti apa yang tersaji di dalamnya. Sentuhan kelembutan feminis mencerminkan hati penyair yang bagi sebagian teman perempuan yang kukenal dengan bisik-bisik katanya suka merayu dengan puisinya.
Buku kumpulan puisi Johanes Sugianto ini terdiri dari 86 puisi. Tidak dibagi dalam beberapa bab, atau semacam frase, kesemuanya di tulisnya langsung. Luar biasa, sajak-sajak itu diramunya selama tahun 2006, betapa produktifnya penyair ini.
Sentuhan kelembutan jiwa pada setiap sajaknya sudah menyapa saya sejak awal. Di mulai dengan puisi “Kadang”, puisi bebas ini, membuatku tersenyum membaca di bait akhirnya, kukutip di bawah ini :
………………………………………..
kuharap engkau tahu
dukamu adalah dukaku
saat ada ragu katakanlah
saat ada duka bersandarlah
padaku
Membalik halaman berikutnya saya terpana dengan sajak sederhana “Doakan Mak”. Kata “Mak” terkesan ndeso ini yang saya sukai. Ada keindahan tersendiri membacanya, dimanapun mau mak, ibu, mama, rasanya puisi untuk mereka adalah suatu rangkaian keindahan yang diuntai dengan jiwa penuh kerinduan. Diramu pada Maret 2006, bait terakhir kukutipkan berikut ini :
………………………………..
mak, doakan aku ya kalau shalat
biar aku tetap kuat dan taat
satu lagi , mak
sajadah yang kukirim jangan lupa dirawat
Ada puisi yang bicara tentang perjalanan pernikahannya. Judulnya “Limabelas tahun sudah”, suara Iwan Fals dengan lagunya Kemesraan mengalun riang menemani menuntaskan membaca 15 baris yang terbagi dalam 4 bait.
…………………………………………….
diammu adalah bara
memanaskan semangat
mengusap keringat
saat pikul beban berat
:sejenak aku bisa istirahat
Lebakbulus, mei 2006
Ada beberapa puisi yang dipersembahkan untuk buah hatinya. Seperti dalam awal ulasan di buku tersebut bahwa seorang putrinya telah berpulang terlebih dahulu ketika masih kecil. Kepergihan bidadari kecilnya telah mengilhami meramu tiga puisi “tak lagi ada”, “kenangan” dan “Anggita”, terakhir ini nama bidadarinya itu.
Mataku meradang merah membaca sajaknya yang berjudul “Anggita” ini, bisa kubayangkan Yo membopong harta titipan Ilahi itu dengan kesedihan mendalam, iringan sayup Aku bukan pilihan oleh Iwan Fals, berkumandang .
tidurlah
dalam lelap
berselimutkan dedaunan
dan kelamnya malam
letih aku
bukan karena membopongmu
dari rumah kita
ke rumahmu
yang baru dan sunyi
tapi karena tangis tak bisa henti