Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelembutan di Lengkung Alis Matamu

Kompas.com - 14/10/2008, 21:06 WIB

Kemudian sajak yang lain berjudul “mata pisau”, dua sajak ini bertepatan di cetak dalam halaman yang berdampingan yaitu halaman 78 dan 79, jadi ketika mata menari menatap baris-baris Telah, yang lainnyapun tak sabar ingin melahap baris-baris di halamanan sebelahnya.
mata pisau berkilau
seperti cermin
memantulkan wajahku
yang payah
sedang Engkau
entah dimana

Lebakbulus 2006

Lain lagi dengan satu sajak yang sederhana namun kurasakan dalam, berjudul “Asbak”, saya kutip disini, sajak ini pendek hanya terdiri 4 baris,

kudengar berisik puntung rokok berbicara
di asbak bulat menghitam tersundut api
aku diam  tak berkata
hatiku sunyi tak bertepi

Jakarta, mei  2006

Ada juga sajak yang diramu untuk ke tiga sesama penyair, yaitu HAH (Hasan Aspahani) dengan judul ” belum sejuta puisi”, untuk pakcik Ahmad berjudul ” teras” dan kepada   Jokpin “banyak saku”.

Terakhir, saya  suka pada puisinya yang tercetak “dalam sakit”,sederhana namun dalam makna. Kukutip disini,
dalam sakit berbaring saja
sajakmu tiba menjengukku

kata-kata yang sama
tak pernah bosan dibaca
sebab kejujuran dan ketulusan
alangkah sederhana

Lebakbulus, juli 2006

Seiring dengan ukiran waktu dan rangkaian kata dalam perkenalan sejak awal penyair ini, letupan ide dan kreasi terus mengalir dari tanganya. Sering saya diminta pendapat apabila dia selesai memasak puisinya di sela kesibukannya sebagai humas di perusahaan multinasional itu. Naluri seni itu mengalir dengan derasnya, sentuhan imajinasi masih meletup terus dan berharap terus tak mati seiring dengan banyak keinginan-keingainannya yang belum terwujud. Kadang berbagi cerita pahit tentang kehidupan dan keluarga, sempat dikenalkan dengan putrinya yang pertama Kirana (menjadi salah satu judul puisinya) yang cantik (dia berkata sambil tertawa “siapa dulu bapaknya”, halahh! Bebek ora nyilem !). Kujawab dengan santai “Ya sudah kita besanan saja, kan kurcaciku cowok semua”. Jadi cukup kusediakan sekarung kata dalam bingkai puisi untuk mas kawin kelak, eh…wedhus!, begitu seperti biasa jawaban jengkel penuh persahabatan dilontarkan.

Kadang saya menjadi algojo untuk puisi-puisi yang baru dirangkainya, sering saya katakan “ini terlalu cengeng!, ini kelihatan ringan tak dalam artinya!, itu terlalu rapuh!”. Mungkin karena sering  saya mengkritik dengan kelewat cerewet, pernah dia katakan “tapi beberapa perempuan suka dengan puisiku yang cengeng ini. Mereka menulisnya di blogku” Halah ! saya biasanya berteriak : mau lebih berbobot tidak puisinya? apa mau membuat sesuai permintaan penggemar? Ya silahkan saja, penyair sah-sah saja menulis kok, mau bagaimana kan dia penentunya. Dan biasanya sehabis mendengar cerocosan begini, kemudian dia akan mengganti kata yang dirasa tidak berbobot menjadi lebih bagus.

Saya berharap di buku ke duanya nanti, puisi-pusinya jauh lebih dalam dan berbobot, dan saya selalu berpesan padanya biarkan bentuk puisimu seperti ini, jangan berbayang Sapardi, Subagyo Sastrowardoyo ataupun Jokpin , saya bosan dengan puisi-puisi seperti itu, rangkailah puisi yang memang dari jiwamu dari roh yang mengalir tanpa perlu melihat kiri kanan. Bentuk sederhana penuh makna tak banyak bermain panjang kata, tentu suatu kesulitan tersendiri dalam memahat kata model begini bagi seorang penyair, tetapi saya percaya seorang Yo, pasti dapat melakukan dan bisa.

Salam sepotong roti dari Bogor, medio November 2007.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau