Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musik Etnik Jadi Ikon

Kompas.com - 01/11/2008, 13:11 WIB

Yi Chen Chang (Taiwan), yang hanya tampil berdua bersama Alex, Rabu, justru berhasil memesona lewat permainan musik etnik China. Mereka memainkan instrumen erhu, satar, biola, dan semacam rebana turki. Contoh sebaliknya, kelompok Lumaras Budhoyo dari Lereng Gunung Merbabu, Magelang, dengan sekitar 50 peraga pria dan perempuan berbusana dan tata rias unik— bermahkota jumbai-jumbai dari bulu burung hasil kreasi sendiri—tampil dengan semangat musik rakyat yang gegap gempita.

”SIEM dengan beragam bentuk penyajian, dari yang sama sekali etnik sampai yang kontemporer, bisa menjadi ajang pembelajaran dan apresiasi yang baik bagi masyarakat. Apa pun bentuknya, yang mungkin amat asing bagi awam. Sesaat mereka mungkin shock, tapi tak apa,” ujar Rahayu Supanggah.

Jumlah peserta festival 19 kelompok, empat dari luar negeri, sisanya dalam negeri: gamelan Margasari (Jepang) pimpinan Shin Nakagawa, Yi Chen Chang (Taiwan), Sonofa (Singapura), dan musik Aborigin oleh Glen Doyle (Australia).

Dari dalam negeri, Al Suwardi, Lumaras Budhoyo, Kahanan-Innisisri (Banyuwangi), Gamelan Kyai Fatahillah, Sound of Kiser, Kande (Aceh), Teratai Pasiana (Makassar), Gangsadewa (Yogyakarta), Kayu Bakar (Papua), Bambang SP (Surabaya), dan Nedy Winuza (Riau).

Di luar itu, sejumlah pemusik populer dalam industri musik di Tanah Air ikut tampil berkolaborasi dengan kelompok pemusik lain, seperti Syaharani, Reza Arthamevia, Balawan, Viky Sianipar, dan Gilang Ramadhan. Menurut Yasudah, panitia, selain bisa jadi magnet bagi penonton awam, SIEM menjadi wahana berkreasi di luar jalur musik populer.

Banyak kalangan heran, Festival SIEM yang menyajikan musik etnik yang tidak populer, bahkan kadang sulit ”dimengerti” awam, mendapat apresiasi sebanyak 10.000 penonton tiap malam. Mereka memadati lapangan di depan Istana Mangkunegaran.

Panggung megah berukuran 75 m x 17 m, dengan latar belakang bekas Gedung Markas Cavallerie-Artillerie Legiun Mangkunegaran (1874), lengkap dengan tata suara (60.000 watt) dan cahaya yang spektakuler, memberi kesan pertunjukan yang bermutu, profesional, dan gratis.

Budayawan Radhar Panca Dahana berpendapat, Kota Solo berpeluang menyandang musik etnik sebagai ikon Kota Solo. ”Kalau jazz sudah diambil Jakarta dengan JakJazz-nya, Solo bisa memilih musik etnik.”

”Musik etnik memiliki daya saing dan daya jual dalam industri kreatif di masa depan. Akibat globalisasi, (musik) Barat sekarang ini boleh dikata sudah habis. Mereka kini mencari sumbersumber musik etnik, seperti di Asia, juga di Jawa,” kata Rahayu mengingatkan.(SON/EKI/MDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com