Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Bandang di Kampung Naringgul

Kompas.com - 18/01/2009, 02:14 WIB

Dayat menambahkan, selain ketakutan akan banjir dan longsor, warga Naringgul kini tidak bisa memanfaatkan air Cikamasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sama seperti di Jakarta. Terakhir kali warga meminum air sungai ini dan memanfaatkannya sebagai sumber penghidupan sekitar akhir tahun 1990.

Kerusakan alam di kawasan Puncak makin menjadi-jadi pada era reformasi mulai tahun 1998. Terjadi pembukaan hutan dan lahan produksi besar-besaran. Bermunculan deretan bangunan vila dan kios atau warung kumuh di setiap sudut Puncak. Sampah dan limbah cair deras dialirkan ke Cikamasan maupun sungai pembentuk hulu Ciliwung lainnya, seperti Ciesek, tak jauh dari Naringgul.

Sumber air baru

”Tepat di atas kampung kami juga berderet restoran dan tempat peristirahatan. Kami dapat melihat mereka membuang air kotor atau sampah langsung ke sungai. Ya, kami tidak lagi menggunakan air Cikamasan untuk minum atau memasak. Kalau tidak terpaksa, mandi pun tidak pakai air sungai ini,” kata warga Naringgul.

Adjat (50), warga Kampung Gunung Mas yang terletak di bawah Kampung Naringgul, menambahkan, kini warga menggunakan sumber air kecil yang dialirkan dari Telaga Warna, sekitar satu kilometer dari kampung itu. Dengan iuran rutin, warga juga membangun tempat penampungan sampah sendiri.

Adjat mengatakan, sejak beralih sumber air, warga desa berupaya menjaganya agar tidak dikotori sampah atau limbah apa pun. Masalah diatasi dengan menyatukan tempat pembuangan sampah. Bekerja sama dengan dinas kebersihan setempat, sampah diangkut rutin.

”Dibantu Badri Ismaya, pelopor penghijauan di bantaran sungai, warga pun digalang untuk rajin menanam pohon, mengganti yang sudah ditebang. Pokoknya, sekarang kami takut sekali terkena bencana dan berupaya bersama mengantisipasinya,” kata Adjat.

Untuk mengantisipasi banjir bandang, sejak pertengahan tahun 2008, warga setempat dan pemerintah daerah telah membangun semacam tanggul penahan arus di badan Cikamasan.

Ernan Rustiadi dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, proyek pembangunan tanggul, seperti di Naringgul, atau kanal besar, seperti banjir kanal timur di Jakarta, memang akan membantu mengurangi luasan banjir. Namun, selama akar permasalahan penyebab banjir tidak diurai dan diselesaikan, bencana banjir, erosi, longsor, bahkan kekeringan (karena tidak ada lagi air bersih) akan terus mengancam.

”Persoalannya sudah terlalu besar, tetapi pemecahannya masih parsial. Setiap pemerintah daerah di Bogor atau Jakarta punya kebijakan sendiri, yang mungkin bakal berdampak pada makin hancurnya Ciliwung. Karena tidak ada ketegasan pengelolaan bersama ini, masyarakat juga makin liar,” kata Ernan.

Semua orang, terutama pemerintah, alpa bahwa Ciliwung yang mengalir sepanjang 100 kilometer lebih ini butuh penanganan bersama, kebijakan yang seragam. Banjir bandang di Naringgul hanya satu pesan, sebuah pembuka dari bencana besar yang mengancam jika manusia tetap bertahan dengan perilaku buruknya. (ONG/MUK/ELN/ LKT/MZW/WAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com