Sejarah pendidikan
Di bidang sejarah pendidikan di Hindia Belanda salah satunya dipamerkan buku bacaan berjudul Bacaan Mimiti Pikeun Sakola Sunda III karangan RK Djajadiredja, TA Gaikhorst, dan N Titus. Turut dipajang buku RA Kartini, Door Duisternis tot Licht, buku Sutan Sjahrir berjudul Onze Strijd, serta sebuah buku karangan Soekarno mengenai Indonesia. Buku-buku tersebut orisinal.
Dipajang pula alat-alat tulis gerip lengkap dengan sabak sebagai alas menulisnya. Zaman dahulu, anak sekolah menulis pelajaran di atas sabak. Jika ingin belajar atau membahas materi berikutnya, sabak tersebut mesti dihapus terlebih dahulu. Dengan demikian, siswa mesti mampu mengingat, misalnya rumus hitungan yang baru saja ditulis. Jangan heran, banyak orang tua dahulu dapat mengingat sesuatu atau menghitung bilangan di luar kepala. Zaman sekarang, jika siswa lupa, ia tinggal membuka kembali buku catatannya. Bahkan dengan komputer prosesnya lebih mudah lagi.
Selain itu, terdapat gambar "sekolah" kalangan pribumi di kampung (eene inlandsche school in de kampong). Bangunannya berupa rumah panggung kecil berlantai palupuh. Dinding belakang dan sebagian dinding samping ditutupi bilik bambu. Siswa laki-laki duduk bersila mengenakan sarung dengan tutup kepala. Seorang siswa perempuan berkebaya duduk terpisah dari laki-laki. Mereka tampaknya sedang belajar membaca buku atau Al Quran yang diletakkan di atas penopang kayu.
Jika diamati secara saksama, bangunan tersebut menyerupai sebuah tajug karena di latar depan tergantung beduk dan gentong air untuk membersihkan badan atau berwudu.
Pada bagian keterangan dituliskan bahwa sekolah-sekolah di Hindia Belanda didirikan karena pihak pemerintah dan perusahaan milik Belanda memerlukan pekerja yang terlatih. Dengan cara meningkatkan pendidikan di kalangan pribumi diharapkan kebutuhan itu dapat terpenuhi. Selain itu, program tersebut merupakan salah satu kebijakan etis pihak Pemerintah Belanda waktu itu.
Di bagian lain dipajang berbagai bentuk hasil kerajinan dari bambu, kayu, dan pandan, antara lain ayakan, pengki, besek, tolombong, dan dudukuy. Bahkan pengki terdiri dari beberapa bentuk dan ukuran. Ada juga perangkap ikan di sungai yang disebut bubu dan bermacam-macam alat atau produk dari batok kelapa.
Kini barang dan alat-alat tersebut mulai langka dan jarang digunakan lagi oleh masyarakat di kota besar. Peralatan tersebut tersisih oleh produk plastik yang lebih murah dan tahan lama. Padahal, alat tersebut merupakan artefak yang menjadi bagian dari sejarah kebudayaan sebuah bangsa atau suku, misalnya suku Sunda, yang memiliki nilai historis tinggi.
HENRY H LOUPIAS Staf Pengajar Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.