Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Hutan, Anak Rimba Membuat Buku Dongeng

Kompas.com - 14/03/2009, 10:57 WIB

KOMPAS.com — Di tengah hutan lebat di Taman Nasional Bukit Duabelas di Makekal, wilayah Kabupaten Tebo, Jambi, sekelompok anak-anak tengah memegang buku dan pensil. Mereka siap sakola, belajar baca-tulis-hitung. Tidak ada yang memakai seragam, yang ada cuma anak-anak yang memakai celana pendek.

Bahkan, ada anak yang tidak berpakaian sama sekali. Tradisi keseharian mereka di hutan hanya pakai kain penutup kemaluan (cawot).

Tak jauh dari mereka berkumpul terdapat gubuk tempat belajar, genah pelajoron (rumah sekolah). Akan tetapi, siang itu mereka ingin belajar di alam terbuka, di bawah pohon. Inilah uniknya, sang guru/fasilitator mencari murid dan memberikan pelajaran baca-tulis-hitung (BTH) di mana murid suka.

Kelompok-kelompok orang rimba ini hidup tersebar di TNBD seluas sekitar 60.500 hektar.

Memberikan pendidikan alternatif kepada orang rimba, atau sering juga disebut Suku Anak Dalam atau orang Kubu, butuh perjuangan keras. Untuk mencapai lokasi dari Tebo, perlu waktu tiga jam perjalanan dengan kendaraan gardan ganda. Atau enam jam dari Kota Jambi. Setelah itu berjalan kaki 1-2 jam masuk hutan, kadang baru ditemui anak-anak rimba tersebut. Di mana bertemu dengan mereka, di situ belajar.

Terampil mendongeng

Sejak 10 tahun terakhir terlihat kemajuan luar biasa dari anak-anak rimba. Setelah diberikan pendidikan alternatif oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1998, anak-anak rimba, yang sebelumnya tak kenal BTH, tak hanya sekadar bisa BTH, tetapi kini juga sudah terampil mendongeng.

Sebagian dari dongeng-dongeng yang mereka tulis dibukukan dengan judul Kisah-kisah Anak Rimba (pengantar oleh Kak Seto, penerbit KKI Warsi, 2007). Ada sembilan dongeng orisinal yang dibukukan, yang selama ini turun-temurun ada dalam cerita-cerita kelompok orang rimba. Mereka menyebut dongeng itu sebagai ande-ande. Tradisi lisan lain yang hidup dalam tradisi orang rimba adalah sloko adat, bedeki (pantun), dan teka-teki.

”Dari nenek moyang mereka tidak ada tradisi tulis. Segala sesuatu diturunkan secara lisan. Mereka buta aksara. Setelah KKI Warsi memberikan pendidikan alternatif, baru mereka bisa BTH,” kata Sukmareni, staf Komunikasi, Informasi, dan Pembelajaran KKI Warsi.

Secara bertahap, anak-anak rimba mengenali huruf, melafalkannya, dan merangkainya menjadi kata-kata dan kalimat. Demikian juga dengan angka, dari mengenalkan angka hingga menjadi hitung-hitungan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau