Pembuatnya pun berhasil mengemas tema agama ini dalam bahasa anak-anak yang lugu. Upin dan Ipin yang tidak sabar untuk berbuka, misalnya, berfantasi ketika melihat gambar seekor ayam. Mereka membayangkan gambar ayam itu sebagai ayam goreng betulan yang lezat. Upin dan Ipin pun melayang-layang dikelilingi belasan ”ayam goreng” itu hingga mereka tersadar.
Pendekatan film animasi itu memang kocak. Di sebuah episode yang ditayangkan pertengahan Maret, Upin dan Ipin serta kawan-kawannya diceritakan berburu harta karun. Ketika hendak memasuki sebuah goa, mereka dihadang raksasa bertubuh batu. Bukannya mengusir secara kasar Upin dan kawan-kawan, makhluk itu justru memberi tebak-tebakan.
Kelucuan juga muncul ketika Upin dan kawan-kawan disandera dan diikat kelompok suku terasing di sebuah hutan. Ketika pemimpin itu mendekati Upin dengan wajah marah, Upin berkata, ”Kalau ratu marah, jadi tidak cantik.”
Film animasi ini juga secara cerdas memotret pluralitas, kerukunan etnis di Malaysia, tanpa perlu berkhotbah tentang perlunya persatuan dan kesatuan nasional. Keberagaman itu ditampilkan dalam sosok teman-teman Upin dan Ipin yang berasal dari etnis selain Melayu, seperti Mei Mei dari keluarga berdarah China dan Ijat dari keluarga India.
Bahkan,
Lanskap kultural
Kemampuan untuk membumikan sebuah cerita film maupun sinetron justru menjadi kelemahan utama kebanyakan tontonan di Indonesia. Banyak tontonan televisi kita tidak berpijak pada akar budaya dan problematika negeri bernama Indonesia.
”Betul... betul... betul?”