Dengan gempa semenit yang berkekuatan 12 skala Richter, kota Tokyo tahun 1923 hancur total. Jembatan bergerak bak gelombang air dan selanjutnya patah berkeping, disusul nyala api akibat gas bocor, dan mobil-mobil pun tertelan rekahan jalan. Deskripsi ini menjadi mengerikan ketika kita menyaksikan sosok-sosok manusia berusaha menyelamatkan diri. Periode gempa Tokyo adalah 100 tahun dengan plus minus waktu geologi 10 tahun.
Gempa merupakan salah satu pemicu munculnya tsunami (tsu > pelabuhan, nami > gelombang) Aceh tahun 2004. Tsunami menyerang Banda Aceh, menelan korban lebih dari 200.000 jiwa.
Victor Rembeth menegaskan, ”Tsunami akhir tahun 2004 menjadi sebuah pemicu yang merupakan sebuah blessing in disguise (berkah tersembunyi) untuk penguatan upaya-upaya manajemen bencana yang lebih baik,” ujarnya.
Tahun 2005 di Kobe, Jepang, dalam Konferensi Dunia tentang Pengurangan Dampak Bencana, lahir Kerangka Aksi Hyogo yang ditandatangani 168 negara termasuk Indonesia.
Risiko bencana dipengaruhi oleh kerentanan manusia, kerentanan sosial, dan kemampuan keseluruhan merespons atau mengurangi bahaya-bahaya yang ada. Kemiskinan merupakan salah satu aspek kerentanan itu.
Sri Widiyantoro menegaskan, setelah ada undang-undang itu, Indonesia perlu menyusun langkah-langkah konkret, langkah antisipatif, di antaranya dengan menetapkan peraturan bangunan. Dia bersama delapan orang lainnya merupakan Tim Sembilan yang menyusun peraturan bangunan. Dia menyebutkan perlunya program retrofitting—penguatan kembali bangunan tua—dan jika perlu menambahkan shockbreaker pada bangunan seperti yang dilakukan Jepang pada sejumlah bangunan di Tokyo.
Dia menyebutkan, implementasi peraturan tersebut di Jepang, antara lain, adalah setiap orang dilatih untuk siap menghadapi bencana, misalnya dengan menyiapkan sepeda untuk mengamankan diri.
”Masyarakatnya rajin melakukan latihan, alat penyelamat gempa dijual di supermarket-supermarket, sejak SD anak-anak Jepang dilatih langsung dengan menggoyang bangunan sehingga mereka terbiasa bagaimana menyelamatkan diri,” ujar Sri Widiyantoro.
”Pemerintah Jepang menginvestasikan kekayaannya untuk melindungi masyarakatnya,” katanya.