Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Erupsi Merapi dan Kearifan Lokal

Kompas.com - 30/10/2010, 04:40 WIB

Letusan tahun 1972-1973 termasuk tipe volkanian, menghasilkan semburan asap hitam setinggi 3 km, hujan pasir dan kerikil, awan pijar guguran ke Kali Batang sejauh 3 km. Tahun 1994, erupsi klimaks Merapi mengarah ke Kali Boyong, menelan 67 korban manusia.

Tahun 1997/1998 Merapi giat lagi dengan erupsi tipe Merapi ke arah selatan dan barat daya, tanpa korban jiwa. Memasuki abad ke-21, Merapi aktif berturut-turut pada tahun 2001, 2006, dan 2010. Erupsi 2001 tanpa korban jiwa, 2006 dua relawan meninggal di dalam bungker, dan korban tahun 2010 mencapai 35 orang meninggal karena awan panas dan abu vulkanik.

Upaya memantau gerakan, geliat, dan desah napas Merapi sudah dilakukan dengan baik. Saking banyak dan lengkapnya alat perekam Merapi, mengesankan gunung yang satu ini amat dimanja para peneliti. Tentu saja ini bukan tanpa alasan. Ini karena zona bahaya gunung aktif ini ditinggali oleh banyak sekali penghuni.

Sebenarnya tindakan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan pemerintah menghadapi aktivitas Merapi 2010 sudah tepat dan sosialisasi oleh media publik juga sudah memadai. Namun, nyatanya erupsi Merapi masih menelan korban juga. Mungkinkah karena jumlah penduduk di daerah bahaya semakin banyak? Ataukah sosialisasi tidak mengenai sasaran? Atau sebagian masyarakat memang cuek?

Kearifan lokal

Masyarakat sering mengandalkan kearifan lokal untuk menengarai aktivitas Merapi. Pada era milenium dengan kondisi lingkungan yang sangat berubah, masih validkah kearifan lokal diterapkan?

Dahulu perilaku satwa menjadi penanda akan terjadinya erupsi Merapi. Konon ketika suhu Merapi meningkat, kawanan burung akan menuruni lereng, selanjutnya diikuti oleh monyet, harimau, dan landak. Ketika landak turun, biasanya sebentar kemudian gunung meletus.

Kali ini Merapi berubah terlalu cepat. Status Waspada baru dua minggu sudah disusul Siaga. Siaga belum seminggu sudah menjadi Awas. Saat status Awas baru satu setengah hari, Merapi meletus. Padahal, kabarnya masyarakat baru menengarai turunnya monyet, belum ada macan, kok Merapi sudah meletus. Jangan-jangan memang sudah tidak ada macan di lereng Merapi.

Sebaiknya memang kearifan lokal pun dievaluasi dan kalau perlu direvisi. Memadukan antara ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal, serta mohon petunjuk kepada Sang Pencipta Alam adalah tindakan terbaik.

Mudah-mudahan letusan 26 Oktober hanya cara Merapi untuk membuka jalan bagi keluarnya magma yang tersumbat. Begitu magma keluar dengan lancar, erupsi pun akan kembali ke tipe Merapi yang ”cantik” itu.

Prof Dr Ir Sari Bahagiarti Kusumayudha MSc Geolog, Pemerhati Merapi dari UPN Veteran ,Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com