Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sang Pencerah dari Timur

Kompas.com - 09/11/2010, 05:26 WIB

Setelah melanglang buana sebagai dai, pendidik, dan pedagang,  dia bertemu dan berkenalan dengan  beberapa ulama di Jawa, khususnya K H Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.

Maka, pada tahun 1929 Sayyid Idrus menuju Sulawesi melalui Maluku dan singgah di Ternate selama beberapa minggu.

Seterusnya ia  melanjutkan ke Manado  dan pada akhirnya  ia memilih Palu sebagai  tumpuan dan harapan pendidikan dan dakwahnya. Di lembah ini, Guru Tua mendirikan madrasah yang kemudian diberi nama Alkhairaat.

Mengembangkan perguran Alkhairaat bukan tanpa hambatan. Pembukaan madrasah di Wani, kota kecil di bagian utara Donggala, terpaksa dipindahkan ke Palu, yang kala itu masih dalam wilayah administrasi Donggala.

Pemerintah Belanda tidak memberi izin bagi kegiatan madrazah di Wani karena sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli.

Kepindahan perguruan Alkhairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda.

Perguruan Alkhairaat sempat dilarang Pemerintah Belanda karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa Al-Ghalayani.

Kitab itu dianggap berbahaya karena dapat membangkitkan semangat juang rakyat untuk melakukan perlawanan. Perlakuan seperti itu masih tetap diberlakukan oleh Pemerintah Jepang.

Meskipun dilarang, Guru Tua tak pernah patah semangat. Ia terus bergerilya sambil mengajar, dan selama berpindah-pindah tempat selama 15 tahun, Guru Tua berhasil mendirikan 400 madrasah yang meliputi ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan mualimmin (setingkat diploma).

Habib Idrus wafat tepat pada Senin 22 Desember 1969 atau 12 Syawal 1389. Kematiannya merupakan "pukulan telak" bagi masyarakat Sulawesi Tengah dan murid-murid yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia.

Habib Idrus  termasuk dalam 10 orang yang diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional, sesuatu yang pantas untuk pribadi agung yang buah karyanya masih dirasakan oleh sebahagian anak negeri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com