Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Arwah Goyang Karawang": Asal Jadi, Cuma Jual Sensasi

Kompas.com - 16/02/2011, 10:40 WIB

Bagaimana dari segi teknis, Kakang Saman? Karena saya menonton AGK tanpa ekspektasi, jadi saya sudah bersiap-siap. Teknis sangat terlihat ala kadarnya. Setting panggung yang harusnya wah, setting di private room, ruangan pub, bahkan ruangan rumah, begitu miskin akan tata pencahayaan.  Gelap dan remang memang hal yang patut ditanamkan dalam film horor, namun inilah tipikal film horor nasional: dibuat simpel dengan bujet yang minim.

Editing pun terlihat sangat bergaya Nayato. Bikin sakit mata, ala-ala video musik tahun 90-an yang sengaja dikacaukan untuk nilai seni.Teknis ini aman dipakai satu dua kali. Namun teknis macam begini selalu dipakai sineas kita untuk menutupi efek visual yang kurang. Adegan tarian Jupe yang seharusnya tegang dan erotis tiba-tiba menjadi semacam scene seorang perempuan rocker. Adegan pembunuhan pun sangat Indonesia sekali alias ngasal. Tahu-tahu itu orang sudah tepar, mati, dengan berdarah-darah.

Mau tahu apa yang paling menggelikan? Entah kurang bujet atau karena dikejar deadline, gambar montage dicomot begitu saja dari kamera handphone. Ini terlihat sekali dari blur-nya scene montage (pemandangan) yang berupa: pemukiman penduduk yang terlihat dari atas. Terlihat seperti gambar yang diambil lewat HP dari atas apartemen. Dan ini dimasukkan sebelum adegan Lilis dan Aji di rumah. Ada pula montage malam dan bulan (nuansa angker seperti Twilight). Terlihat seperti mengambil gambar dari film lain. Yah, ini hanya perkiraan saya. Saya bisa saja keliru, kan?

Lalu apa yang paling mengganggu lainnya? Ya, adanya scene perkelahian beneran yang tiba-tiba dimasukkan begitu saja di film. Lengkap dengan tulisan (kira-kira): scene perkelahian asli saat shooting. Wah, saya mau maki-maki pas ada ‘acara’ kayak beginian.

Seumur-umur nonton film, baru ada yang kayak beginian. Bahkan satu-satunya film di dunia ini yang ada aksi menempel sisa scene ‘tidak layak pakai’ itu ke dalam film utuh. Lain halnya jika dokumenter, ini kan, film fiksi. Alangkah bagus kalau scene itu dihilangkan (dan teks itu juga dihilangkan). Alangkah lebih bijak memasang scene itu di akhir film saja seperti film-film pada umumnya yang beberapa memasang adegan gagal.

Dari fakta ini tergambar jelas betapa si produser ini berhasil memuaskan dahaga para penonton yang kepingin tahu ‘adegan fighting’ itu. Meski adegan itu berhasil hingga membuat penonton awam ribut dan cengo, namun bagi orang kayak saya pasti mikir: apa-apaan?

Helfi Kardit selaku sutradara AGK memang familiar di telinga saya. Filmnya yang pernah saya tonton di bioskop adalah Lantai 13 (2007). Dan itu adalah horor yang menurut saya bagus. Apa mungkin Helfi ‘takluk’ atas permintaan Shankar karena alasan asal laku? Saya juga mengacungi Helfi dua jempol untuk filmnya Mengaku Rasul (2008) yang dibintangi Ray Sahetapy. Meski terkesan gambar sinetron, namun penyutradaraannya terbilang cukup bagus dan nuansa thriller-nya terasa.

Namun film AGK ini tidak melulu cacat. Mengangkat kebudayaan nasional memang bagus. Jupe-DP pun bermain lumayan bagus. Terutama Jupe, karena ia adalah pemeran utama (karakter Lilis mendapat porsi lebih banyak daripada Neneng). Beberapa dialog dan scene pun mengundang empati. Bagaimana saya bisa merasakan kecemburuan Lela pada saudara kembarnya, bagaimana kekesalan Neneng ketika posisi primadonanya digantikan Lilis  ’palsu’. Dan satu dialog yang menurut saya bagus “tarian karawang telah disalahgunakan,” ucap Lilis palsu’. Sisi manusiawi pun digambarkan cukup baik yakni Lela yang psikopat, Aji yang depresi, atau Neneng yang haus kuasa.

Sayangnya film ini memang film horor yang  tentu saja tidak masuk akal. Saya sempat membayangkan kalau film berlatar goyang Karawang ini dibuat drama oleh Nia Dinata atau Nan Achnas dengan bintang Jupe-DP, pastilah akan bagus. Dan keseksian keduanya tidak akan ‘sia-sia’, melainkan bernilai. Yaitu pemaparan realitas dengan tujuan mulia: mengritik keadaan sosial kalangan minoritas. Tidak semata menjual ragawi, kata-kata sompral atau perkelahian gak jelas, yang nggak bisa dinilai asli nggaknya hanya untuk sebuah KEUNTUNGAN.

Semoga produser film tanah air kita bisa lebih waras ke depannya. Dengan membikin tayangan film berkelas, dan memiliki esensi, bukan sensasi-murahan.

(Kompasiana/Samandayu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com