Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Kartini dari Gambir ke Priok

Kompas.com - 17/04/2011, 15:03 WIB

Memasuki Stasiun Angke, Ketua Umum Yayasan Warna Warni Indonesia, Krisnina Akbar Tanjung, berbicara lewat pengeras suara tentang misi di balik perjalanan kereta yang memakan waktu sekitar satu jam itu. ”Silakan Anda melihat keluar jendela, inilah kehidupan masyarakat kita. Anda bisa melihat sendiri kondisi mereka yang sangat memprihatinkan,” kata Krisnina. 

Namun apa daya suaranya tenggelam di antara keriuhan peserta yang sibuk memotret. ”Yah, saya memang tidak mau mengulang-ulang apa yang menjadi misi perjalanan ini, karena semuanya sudah tertulis di buku panduan yang sudah dibagikan sejak tiga minggu lalu. Saya tentunya berharap mereka sudah membacanya dan memahami apa sebetulnya yang menjadi pemikiran Kartini,” kata Krisnina yang dihubungi Kompas, Senin (11/4). 

Satu abad

Kereta yang kami tumpangi berhenti di Stasiun Tanjung Priok, yang dibangun pada tahun 1914 pada masa Gubernur Jenderal AFW Indenburg. Stasiun yang rangkanya terbuat dari baja dengan rancangan menyerupai terowongan setengah lingkaran itu, merupakan karya Ir CW Koch, insinyur utama dari Staats Spoorwagen. Keindahan dan keaslian stasiun yang usianya hampir satu abad itu masih terjaga sampai saat ini. 

Aula yang luas siang itu diubah menjadi ruang makan dengan puluhan meja makan bundar yang ditata artistik. Piring-piring makan berhiaskan foto RA Kartini diletakkan di atas meja bertaplak batik. Suasana tempo dulu berhasil dibangun melalui suguhan lagu-lagu keroncong perjuangan dan menu santap tradisional. 

Mata menyapu ke dinding-dinding ruangan yang berjendela tinggi dengan hiasan kaca patri yang membiaskan pantulan cahaya berwarna merah kekuningan. Di sayap stasiun, berjejer ruang-ruang fungsional yang suasananya mirip dengan stasiun di kota-kota kecil di Jawa. Ada ruang kepala stasiun, ruang tunggu, ruang administrasi, semuanya masih terpelihara dan terjaga kebersihannya. 

”Para peserta ini kalau tidak dibawa ke sini, ya tidak pada tahu kalau Jakarta memiliki gedung tua dan stasiun yang seindah ini. Banyak peserta yang terkagum-kagum dan mengaku kaget, bahwa kita ternyata memiliki heritage seperti ini,” lanjut Krisnina. 

Ketika kereta bergerak pulang, raut lelah sudah menerpa wajah para peserta. Usai peragaan busana yang memanfaatkan ”catwalk” dari gerbong ke gerbong itu, tirai-tirai jendela kereta mulai dibuka. Satu demi satu penumpang memalingkan wajahnya ke arah luar. Pemandangan yang telah dilintasi tadi pagi kembali tersaji di hadapan mata. Rumah- rumah kumuh yang dipenuhi tali jemuran yang saling melintang, anak-anak yang berlarian di lintasan rel, juga para pemulung yang mendongakkan kepalanya dari balik rumah plastik... Bukankah ketertinggalan seperti ini yang membuat hati Kartini menjerit? 

”Terus terang, ada perasaan bersalah di hati saya,” kata salah seorang peserta, Marcella Sapardan, President Director Intercontinental Bali Resort, sambil memandang keluar jendela. ”Ada baiknya dari awal ada pemandu yang mengenal betul wilayah ini dan bisa memberikan informasi pada peserta tentang daerah-daerah yang dilalui, termasuk kondisi masyarakatnya. Peserta yang ikut saat ini rasanya tidak akan khusus mendatangi daerah ini sendirian. Acara-acara seperti ini penting untuk mendekatkan mereka pada realitas yang ada di luar...,” lanjut Marcella. 

Di Stasiun Gambir kereta berhenti. Jakarta sudah menyambut senja....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com