Anwar Hudijono
Muhson menghela napas. Ia angkat bahunya yang legam tembaga karena terbakar matahari. Tatkala kedua tangannya dikacak di pinggang, terlihat urat-uratnya yang membujur menyilang di tangannya bagaikan sepuak ular. Butiran-butiran peluh meleleh dari tubuhnya bagaikan es loli.
Setelah menekuk pinggangnya ke kiri dan kanan sekali dua, ia kembali memegang sorok atau alat pengeruk garam yang terhampar di petak terakhir lahan garamnya. Garam itu kemudian dikumpulkan di pinggir petak untuk selanjutnya dimasukkan ke karung dan dibawa ke pinggir jalan sejauh sekitar 300 meter. Berkarung-karung garam tersebut ditumpuk menunggu pembeli datang.
Pada saat matahari bergulir mendekati garis cakrawala barat, Muhson duduk di gubuknya berukuran sekitar 2,5 meter x 1 meter.
”Panen garam saya itu kurang berhasil,” kata Muhson (70), petani garam Desa Pandan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, akhir September 2011. ”Karena kekurangan air, garam saya hanya mencapai kualitas dua. Tidak bisa mencapai kualitas satu. Jumlahnya sekitar 5 ton. Saya tidak tahu rugi apa tidak,” katanya.
Harga garam kualitas dua di tingkat petani hanya Rp 380.000 per ton atau lebih rendah dari harga patokan pemerintah yang Rp 550.000 per ton. Adapun kualitas satu hanya dihargai Rp 550.000 per ton, sementara patokan pemerintah adalah Rp 750.000 per ton. Jika panenan total 5 ton, Muhson akan memperoleh pendapatan kotor sebesar Rp 1.900.000.
Biaya produksi antara lain sewa mesin pompa air Rp 100.000, premium untuk pompa Rp 45.000, ongkos keruk garam Rp 200.000, ongkos angkut dari lahan ke pinggir jalan Rp 150.000, serta biaya makan dan rokok pekerja Rp 75.000. Total Rp 570.000.
Dengan demikian, pendapatan bersih Rp 1.330.000. Karena Muhson berstatus petani penggarap, hasil bersih tersebut dibagi dua dengan pemilik tanah, Muhsin, perolehannya Rp 665.000. Jika garam itu dikerjakan dalam waktu 15 hari, pendapatan Muhson per hari adalah Rp 44.000.
Semula Muhson berharap tahun ini panenan garamnya melimpah karena cuaca bagus. Sebagai ganti gagal panen tahun 2010 akibat anomali iklim, hujan terus-menerus. Namun, ternyata, iklim tidak menjadi satu-satunya penentu tingkat produksi, tetapi juga faktor bukan alam, seperti infrastruktur pegaraman dan sistem tata niaga.