Muhson mengambil benih pegaraman, yaitu air laut, dari saluran primer Kalimati.
”Airnya sedikit sehingga tidak bisa diambil dengan menggunakan kincir angin,” katanya. Padahal, bagi Muhson dan ribuan petani garam lainnya yang menggunakan sistem Maduranis, kincir angin adalah alat utama untuk menaikkan air laut ke lahan pegaraman. Alat ini tidak membutuhkan biaya karena digerakkan oleh angin. Kebetulan alam memberikan keuntungan Madura bagian timur berupa angin bohorok dari daerah Besuki yang bertiup bulan Juli hingga November.
Memang masih ada juga yang menggunakan timba pengungkit seperti Sayeti (70), petani garam Desa Pinggirpapas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Namun, cara ini menguras tenaga manusia.
Akhirnya, Muhson terpaksa menyewa mesin pompa. Namun, karena biaya sewa dan
Pada saat demikian, sebenarnya Muhson mengharap dana Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) Kementerian Kelautan dan Perikanan turun untuk biaya sewa pompa. Namun, sudah dua bulan sejak dia membuka rekening sebagai persyaratan terakhir memperoleh kucuran dana itu, ternyata hanya pepesan kosong.
Dana Pugar di Jawa Timur total Rp 32,1 miliar untuk 547 kelompok tani dengan total anggota 2.908 orang, luas yang dijangkau Pugar 9.267,13 hektar. Setiap petani memperoleh dana Pugar sampai Rp 5 juta.
Seperti Muhson, banyak petani yang juga belum menerima. Kalaulah ada yang menerima seperti di Sumenep, jumlahnya hanya Rp 3 juta per orang. Itu pun terlambat karena mestinya petani membutuhkan saat penggarapan lahan pada Mei-Juni. Nyatanya baru cair pada September. ”Akhirnya, dana Pugar itu lebih untuk kebutuhan konsumtif,” kata Arifin, petani Saronggi, Sumenep.
Buruknya infrastruktur saluran air merupakan fenomena umum pegaraman rakyat. Sebenarnya petani mengharap kemurahan PT Garam untuk meminjamkan salurannya bagi pasokan air. Namun, PT Garam, yang memang hubungannya dengan petani tidak baik, menolak permohonan petani.
Kepala Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep Sri Harjani mengakui, memang belum pernah ada perbaikan ataupun pembuatan saluran air laut untuk pegaraman rakyat. Pembuatan saluran baru dan perbaikan hanya milik PT Garam.
Jika mau menjadikan garam ini sebagai komoditas strategis, hendaknya pemerintah membuat badan penyangga semacam Bulog. PT Garam memang diharapkan menjadi penyangga. Namun, Direktur Utama PT Garam Slamet mengatakan bahwa PT Garam adalah badan usaha milik negara dengan fungsi tidak sama dengan Bulog. Mau melakukan pembelian ke petani, tetapi dengan harga pasar.
Walhasil, usaha garam rakyat selalu berada dalam gelombang ketidakpastian. Amburadul. Dalam menghadapi kekurangan garam sekitar 2,1 juta ton per tahun, pemerintah pun memilih cara instan, yaitu impor. Meskipun demikian, impor garam sebenarnya menjadi ironi bagi sebuah negeri bahari dengan garis pantai terpanjang nomor 4 di dunia dan sebagian penduduknya memiliki kultur budidaya garam yang kuat.